Rabu, 10 Januari 2018

Mahasiswa Penakut

Mahasiswa Penakut

Hari ini tanggal 4 oktober tahun 2017 Aku ingin menuliskan sedikit pemikiran dan keresahanku kepada teman-teman. Perkenalkan namaku Insan, aku mahasiswa dari salah satu fakultas di Universitas Sumatera Utara. Akutergabung di salah satu organisasi eksternal yang berada di USU.

Pada awalnya aku ragu untuk menulis keresahan ini tapi sekarang aku berpikir tak ada yang perlu ditakutkan karena kebebasan orang berpendapatdiatur oleh Undang-undang . Sebagai negara hukum sudah sepatutnya sayamemahami hukum agar tidak terjadi penyelewengan hukum kepada saya. Sayaingin bercerita sedikit tentang Mahasiswa sekarang terkhusus di Fakultaskuadalah orang yang berani tapi penakut. Mereka berani mengatakan Hidup Mahasiswa!!! Akan tetapi, karakter mereka sebagai mahasiswa telah mati.

Saya ingin membuka sedikit kasus yang terjadi pada tahun 2016. Pada waktu itu sebagian teman-teman saya melakukan sosialisasi mengenai kampus dan tatacara pengisian kartu rencana studi (KRS) kepada Mahasiswa baru. Dalam pemikiran siapapun itu adalah hal yang wajar dan benar. Hukum mana pun tidak ada yang mengatur pelarangan kita untuk berkumpul dan berbagi informasi. Kemudian berkumpullah mereka bersama Maba. Tiba-tiba saja satpam di kampus saya datang dan ingin membubarkan perkumpulan itu. Tentu saja sebagai Mahasiswa kita protes akan hal itu. Akhirnya satpam berkoordinasi dengan bidang Kemahasiswaan USU dan datanglah Beliau untuk membubarkan acara tersebut. Singkat cerita sebagian dari teman-teman saya ditandai dan akan dijatuhi sanksi.

Apakah sekarang kita hidup di era otoriternya Birokrasi kampus???

Bagaimana bisa seseorang yang tidak melakukan kejahatan dan kesalahan dijatuhi SANKSI??

Segala upaya dilakukan kesebelas teman saya, mulai menjumpai bagian kemahiswaan fakultas dan mengajukan permohonan maaf. Saya merasa kasian dengan mereka karena mereka seperti orang-orang yang berbuat tindakan kriminal dan harus mengemis permohonan maaf. OH lucunya fakultasku di saat kami membantu sesama Mahasiswa di larang-larang. Kami berbuat demikian karena kami ingat sumpah kami sebagai Mahasiswa.

Sumpah Mahasiswa :
  1. Kami Mahasiswa Indonesia bersumpah, bertanah air satu tanah air tanpa penindasan
  2. Kami Mahasiswa Indonesia bersumpah, berbangsa satu bangsa yang gandrung akan keadilan
  3. Kami Mahasiswa Indonesia bersumpah, berbahasa satu bahasa tanpa kebohongan


Akhir cerita sanksi kepada teman-teman saya hanya sebatas wacana. Pihak fakultas mungkin tak pernah berpikir dampak psikologis kepada teman teman saya yang di ancam dengan sanksi karena yang birokrasi hari ini bukan melayani justru menjadi momok yang seram bagi kawan kawan Mahasiswa.

Hal penjatuhan SANKSI terjadi lagi tahun ini kepada Mahasiswa Stambuk 2014 yang dituduhkan melakukan kekerasan terhadap salah satu Mahasiswa 2017. Semua orang paham penyelesaian masalah ada dua cara berdamai atau dengan ranah hukum. Karena kesalahpahaman pihak korban dan Mahasiswa yang dijadikan tersangka akhirnya tuntutan korban pun di cabut dan orang tua korban menyampaikan kepada bidang Kemahasiswaan Fakultas untuk tidak memberi SANKSI karena sudah berdamai dan terjadi kesalahpahaman. Bukannya menjadi mediator permasalahan malah menjadi Eksekutor . Pihak fakultas tidak terima melepas begitu saja Mahasiswa yang dituduh ini, mereka mencoba mencari-cari kesalahan yang bisa menjerat Mahasiswa ke SANKSI. Oh lucunya fakultasku ketika ingin akreditasi kami di tuntut mengutarakan hal yang baik dan bekerja sama dengan pihak Fakultas tapi inikah balasan Kalian.

Oke, karena kita civitas akademik maka kita berbicara menggunakan peraturan. Saya ingin menyampaikan

Pasal 13 UU no. 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi yang menyatakan:

“Mahasiswa sebagai anggota sivitas akademika diposisikan sebagai Insan dewasa yang memiliki kesadaran sendiri dalam mengembangkan potensi diri di perguruan tinggi untuk menjadi intelektual , ilmuwan, praktisi, dan/atau profesional.”

Hari ini yang dilakukan pihak Fakultas tidak memposisikan anak didiknya sebagai Insan dewasa, karena selalu kita ingin membuka forum diskusi tanpa intervensi agar terjadi kesepamahaman anatara Mahasiswa kepada Pihak Birokrasi dan Dosen. Karena lucu jika kita berada di rumah yang sama tetapi kita belum memiliki kesepemahaman. Kami bosen dengan acara acara formal yang hanya karena itu kita dipertemukan. Apakah penjatuhan SANKSI tanpa ada advokasi akan selalu terjadi ???

Jika hari ini pihak Fakultas menutup diri untuk diskusi maka kita sebagai Mahasiswa dululah yang harus duduk dan diskusi. Kenapa kita sebagai Mahasiswa hanya bertemu di rapat-rapat acara saja? Kenapa tidak ada yang menginisiasi pergerakan diskusi. Maka dari itu wajar saja pihak Birokrasi mudah membungkam kita. Terbukti hari ini kawan-kawan tak paham struktural, kawan-kawan punya Himpunan Mahasiswa Jurusan kawan-kawan punya Pemerintahan Mahasiswa Fakultas, mereka lah yang hari ini mewakili kita untuk menyuarakan aspirasi dan kebenaran.

Akhir kata, marilah kita pahami STRUKTURAL tanpa meninggalkan KULTURAL.

Hidup Mahasiswa !!!

Hidup Mahasiswa !!!

By : Insan dewasa.

Rabu, 13 September 2017

PERAN HMI

MEMBANGUN SDM MENGHADAPI PERSAINGAN ANTARBANGSA MEMASUKI ABAD KE-21
Harapan Pada HMI 

Oleh: 
Ginandjar Kartasasmita 
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas

Pendahuluan

Ulang tahun Himpunan Mahasiswa lstam (HMl) yang ke-50 merupakan momentum yang penting bukan hanya bagi HMI tetapi juga bagi generasi muda bangsa Indonesia secara keseluruhan. Kita sadar betul bahwa hari depan kehidupan berbangsa dan bernegara sangat tergantung dari semangat, daya juang dan kualitas pemuda lndonesia. Para pemuda yang pada waktu ini berstatus mahasiswa merupakan generasi yang menjadi harapan dan tumpuan seluruh bangsa Indonesia dalam mengarungi samudra kehidupan di abad ke-21 nanti. oleh karena itulah, peringatan ulang tahun yang ke-50 ini saya kira bagi HMI memiliki arti yang strategis untuk menemu-kenali kembali jati diri serta peran sosial-politik yang selama ini telah menjadi bukti sejarah, dan mencari wujud serta semangat baru yang sesuai dengan tantangan dan situasi kehidupan di era mendatang.

Saya diminta untuk membahas topik yang menekankan pada aspek kualitas sumber daya manusia Indonesia dan persaingan antarbangsa dalam abad ke-21. Topik ini jelas sangat penting mengingat zaman sudah berubah ke arah dunia yang menyatu dan bersamaan dengan itu menciptakan situasi yang makin sarat dengan persaingan. oleh karena itu, pertanyaannya bagi kita adalah bagaimana kita dapat memanfaatkan sebesar-besarnya situasitu. Tidak ada cara lain untuk dapat memperoleh manfaat dari situasi tersebut, kecuali melalui peningkatan kemampuan dan daya saing nasional dari seluruh pelaku pembangunan kita. Untuk membangun kemampuan dan daya saing nasional ini bukan pekerjaan yang ringan. Tetapi dengan kerja keras dan dengan bersatu bahu-membahu tidak mustahil bagi kita untuk mewujudkannya. Untuk itu, peran generasi muda akan besar sekali, di mana di dalamnya HMI adalah eksponen yang vital, karena memiliki pegangan moral, militansi, dan dengan demikian dinamika yang tinggi. 

Peran HMI dalam Perjalanan Sejarah Bangsa 

Saya bukan anggota HMl, jadi pengetahuan saya mengenai HMI adalah bukan pengetahuannya "orang dalam". Mungkin apa yang saya lihat dari luar itu, tidak seperti yang sesungguhnya kalau dilihat dari dalam. Tetapi mungkin juga ada baiknya untuk mengetahui bagaimana seorang yang tidak pernah menjadi anggota HMI melihat organisasi ini. 

Sudah banyak ditulis buku mengenai sejarah HMI yang dapat digunakan sebagai referensi. Karena itu saya hanya akan bicara singkat sajd untuk mengantar kepada topik utama yang akan saya bahas, yaitu apa harapan kita terhadap peran HMI di masa datang, khususnya dalam pembangunan sDM dan dalam menghadapi persaingan antarbangsa memasuki abad-21 . 

HMI berdiri pada tahun kedua kemerdekaan, 1947. Masa itu adalah masa yang paling genting dalam periode awal negara kita, karena bangsa Indonesia sedang mati-matian menghadapi gempuran kaum kolonial. Pada waktu itu, HMI dan angota-anggotanya terlibat dalam perjuangan fisik melawan penjajah yang ingin kembali menduduki tanah air ini. pada saat-saat puncak perjuangan mempertahankan kemerdekaan itu, bangsa Indonesia dikhianati oleh PKI dengan peristiwa Madiun di tahun 1948. warga HMI juga turut serta bersama dengan kekuatan-kekuatan republik lainnya mengatasi pemberontakan ini. 

Pada dekade 1950-an dan 1960-an, bangsa lndonesia sepenuhnya berganti "haluan" dengan meninggalkan uuD 1945, dan menerapkan UUDS 1950 dengan sistem politik liberal dan sistem pemerintahan parlementer. Masa-masa itu adalah masa di mana bangsa Indonesia mengalami banyak gejolak; berbagai pemberontakan dan peristiwa mengguncang kehidupan nasional.

Pemerintah jatuh bangun, dan pembangunan hampir tidak berjalan. Dalam masa itu HMI sebagai organisasi berkembang terus dan tumbuh makin kuat di kampus-kampus. 

Keadaan politik yang demikian itu berakhir dengan dekrit 5 Juli 1959, dan dengan kembali berlakunya UUD 1945. Namun, pada kenyataannya, UUD itu tidak diterapkan seperti jiwa, semangat, dan bahkan apa yang jelas tertulis di dalamnya. Kehidupan bangsa kita dipenuhi dengan gagasan-gagasan dan suasana revolusioner, di mana ideologi dan politik sangat mengedepan. Ekonomi tidak dikelola sesuai dengan kaidah yang seharusnya, dan berangsur-angsur menjadi ekonomi komando, yang disebut ekonomi terpimpin, seperti juga demokrasi menjadi tidak demokratis karena telah menjadi demokrasi terpimpin. Kondisi itu dimanfaatkan dengan sangat lihai oleh PKl, yang pikiran-pikirannya secara bertahap mendominasi pengambilan keputusan politik pada waktu itu.

Suasana berkembang sedemikian rupa, sepertinya masyarakat dimabukkan (intoxicated) oleh slogan-slogan revolusioner, yang makin lama makin berbau komunis. Tidak semua rela menerima keadaan itu, dan tumbuh upaya-upaya untuk mengoreksi dari berbagai kekuatan di masyarakat. Salah satu yang paling terkemuka, paling vokal di antaranya adalah HMl. Namun, kekuatan antidemokrasi yang bergabung dengan kaum komunis waktu itu begitu besar, sehingga organisasi-organisasi dan tokoh-tokoh yang mencoba meluruskan kembali perjalanan bangsa banyak yang menjadi korban, atau organisasinya dibubarkan atau tokohtokohnya dipenjarakan, atau kedua-duanya. 

Menjelang puncaknya masa kemelut itu, HMI diperintahkan untuk dibubarkan. Tetapi perintah pembubaran tidak pernah dilaksanakan dan HMI tetap eksis. Bahkan pada puncaknya situasi, dengan pemberontakan G-3O-S/PKl, HMI menjadi salah satu organisasi yang secara frontal menghadapi gerakan pengkhianatan itu. HMI merupakan unsur utama dari angkatan 66, yang bersama-sama dengan ABRI dan rakyat pada umumnya membentuk kekuatan orde Baru untuk menegakkan kembali pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Tokoh-tokoh HMI mewarnai jajaran orde Baru, dan banyak alumninya terjun aktif dalam upaya-upaya pembaharuan yang dilakukan oleh orde Baru, dan pada saatnya telah siap menjadi kader-kader pembangunan selanjutnya. 

HMI sebagai kekuatan pergerakan mahasiswa terus berperan dalam dekade-dekade pembangunan selanjutnya. Banyak aktivitas sosial mahasiswa, termasuk dalam menanggapi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, yang dimotori oleh HMI bahkan tanpa HMI dapat dikatakan kegiatan nonkampus mahasiswa seringkali melempem dan tidak menghasirkan momentum yang diharapkan. 

Di lain pihak dengan sejujur-jujurnya, saya harus mengatakan, sebagai seorang bukan anggota atau alumni HMl, bahwa pengaruh yang begitu besar pada pergerakan mahasiswa dan penciptaan opini publik telah diemban oleh HMI secara bertanggung jawab sehingga tidak pernah kita dengar suatu keonaran dilatarbelakangi oleh HMI. Tetapi HMI memelopori secara aktif upaya pemecahan berbagai masalah sosial, terutama yang menyangkut kehidupan umat. 

Jadi kesimpulan saya, sebagai sebuah organisasi mahasiswa yang besar, besar anggotanya dan besar pengaruhnya, HMI bersikap sangat matang dan dewasa. Selain dari doktrin-doktrin yang melahirkannya dan riwayat perjuangannya selama perjalanan sejarah republik ini, juga dari kualitas sumber daya manusia yang masuk HMI dan alumni-alumninya tercermin jiwa dan makna organiasi ini. Barangkali tidak ada organisasi mahasiswa ekstra universitas yang mefahirkan tokoh-tokoh dan kader-kader bangsa yang sekarang berkiprah dalam pembangunan, seperti HMl. pada Kabinet Pembangunan Vl ini saja, kalau tidak salah ada 7 alumni HMI. 

Bagi saya yang dibesarkan dengan latar belakang kebangsaan, HMI tidak saya anggap sebagai organisasi yang primordial oleh karena dari pandangan-pandangan dan tindak tanduknya HMI senantiasa menunjukkan sikap kebangsaan. Karena itu saya merasa compatible dengan HMI dan sudah beberapa kali ini diundang dan selalu hadir dalam kongres-kongresnya. Saya juga mempunyai kawan-kawan dekat yang mantan aktivis HMl, dan dari karakter serta semangat kejuangan mereka, saya menangkap karakter dan semangat kejuangan HMl. 

Selanjutnya, bagaimana HMI menempatkan diri dan perannya dalam perkembangan masyarakat Indonesia yang makin maju, cerdas, dan makin kosmopolitan ? Bagaimana HMI melihat perannya dalam melahirkan kader-kader pembangunan untuk menghadapi tantangan-tantangan masa depan ? Masa depan yang menjanjikan kemakmuran dan kesejahteraan yang lebih baik jika bangsa kita mampu menarik dan memelihara keunggulan dalam persaingan. Tetapi masa depan dapat merisaukan kalau kita tenggelam dalam persaingan. Kalau bicara persaingan, tentu terutama di bidang ekonomi, tetapi juga bahkan lebih rumit di bidang budaya. 

Hal-hal itulah yang saya harapkan dapat direnungi oleh HMl, anggota-anggotanya, aktivisnya dan para alumninya. 

Berbagai Tantangan Memasuki Abad ke-21 

Memasuki abad ke-21 semua bangsa akan dihadapkan pada berbagai macam tantangan yang serius dan amat mendasar, utamanya berkaitan dengan kompetisi yang berdimensi global. Kompetisi global tersebut mensyaratkan tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas dan berwawasan keunggulan. Sumber daya manusia yang berkualitas dan berwawasan keunggulan itu merupakan faktor determinan dalam persaingan antarbangsa pada abad ke-21 nanti. 

Memasuki abad ke-21 dapat dipastikan akan terjadi perubahan-perubahan mendasar di berbagai segi kehidupan yang gejalanya sudah mulai nampak dan telah dapat kita rasakan sekarang ini. Perubahan lingkungan strategis yang ditandai oleh kecenderungan globalisasi yang berlangsung secara intensif , akseleratif, melanda semua bangsa di dunia. proses globalisasi serupa itu dipacu oleh kemajuan di bidang teknologi informasi, transportasi, dan perdagangan bebas. proses tersebut membawa dampak langsung terhadap berbagai bidang kehidupan, bukan saja ekonomi tetapi juga sosial, budaya, dan politik.

Dalam bidang ekonomi, globalisasi ditandai oleh perdagangan bebas yang makin tidak mengenal sekat-sekat negara dan melibatkan semua bangsa di dunia. Dalam suasana itu niscaya akan terjadi kompetisi yang amat ketat, tajam, dan cenderung saling mengalahkan antara satu bangsa terhadap bangsa lainnya. Dari segi kepentingan ekonomi, globalisasi itu menciptakan peluang pasar yang besar. Karena itu, semua bangsa berkepentingan untuk bisa memanfaatkan peruang pasar yang terbuka lebar tersebut. 

Bagi bangsa Indonesia, permasalahan utamanya justru terletak pada kesiapan kita dalam memanfaatkan peluang dan memenangkan persaingan. Kunci keberhasilannya terletak pada daya saing bangsa. Karena globalisasi digerakkan oleh dua kekuatan utama yaitu teknologi dan perdagangan, maka daya saing itu akan sangat bergantung pada (1) kemampuan kita untuk menguasai teknologi dengan basis ilmu pengetahuan yang kuat, dan (2) kemampuan kita dalam membangun kelembagaan ekonomi yang efisien. 

Kedua hal tersebut secara imperatif menjadi faktor yang menentukan dalam usaha memenangkan kompetisi global. Dengan demikian, upaya untuk menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) merupakan agenda pembangunan di masa depan, yang teramat penting dan mendesak untuk mendapatkan prioritas.

Globalisasi juga akan mengakibatkan perubahan dalam aspek sosial budaya. Pergaulan antarbangsa dalam era globalisasi ini menyebabkan terjadinya interaksi dan persentuhan nilai-nilai budaya di antara berbagai bangsa yang beraneka ragam yang tidak bisa dihindari. Melalui interaksi tersebut akan terbuka peluang untuk saling menyerap nilai-nilai budaya asing antara satu dengan yang lainnya, sehingga terjadi proses adaptasi nilai-nilai budaya yang dibawa oleh masing-masing bangsa. 

Adaptasi budaya asing tersebut bisa bermakna negatif dan positif sekaligus. la akan bermakna negatif bilamana masyarakat lndonesia hanya menyerap nilai-nilai budaya asing yang tidak selaras dengan nilai-nilai budaya bangsa sendiri. Kecenderungan sikap materialistik, konsumeristik, hedonistik, individualistik, atau sekularistik adalah contoh yang negatif. untuk menghadapinya, kita perlu memperkuat jati diri sebagai bangsa dan memperkukuh etika dan landasan moralitas masyarakat. 

Di pihak lain, adaptasi juga bisa bermakna positif bila mendorong masyarakat dan bangsa Indonesia untuk mengejar kemajuan. Misalnya etos kerja, semangat berkompetisi, sikap kemandirian, disiplin, penghargaan terhadap waktu dan sebagainya. 

Dalam era globalisasi juga ada potensi melemahnya keutuhan negara terutama bagi negara-negara yang dibentuk atas dasar ikatan primordial sepedi etnik dan agama. Bahkan John Naisbitt membuat sinyalemen bahwa masa depan negara-bangsa yang dibentuk atas dasar kesatuan berbagai macam etnik itu sangat mungkin akan memudar, mengalami disintegrasi, dan kemudian akan kembali kepada identitas primordial semula. Dalam bahasa Naisbitt, tribalisme itu akan berkembang ketika nasionalisme (baca: negara-bangsa) dianggap tidak penting lagi. 

Dalam konteks Indonesia, sebagai negara-bangsa yang sangat majemuk baik dari segi etnis, agama, budaya, dan adat istiadat, tentu saja masalah ini tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, semua elemen sosial yang ikut membentuk negara kesatuan RI dituntut untuk berupaya memperkuat dan mengukukuhkan keutuhan bangsa ini. Dalam hal ini, HMI diharapkan akan senantiasa setia kepada komitmennya yang kuat untuk menjaga integrasi negara kebangsaan sebagaimana tercermin dalam wawasan organisasinya. Kita mengharapkan identitas keislaman yang menjadi spirit perjuangan HMI tidak akan menghalanginya untuk tetap setia kepada negara kesatuan Rl, bahkan memperkuat tekad untuk mempertahankannya dan memperkukuhnya. wawasan keislaman HMI itu kita harapkan akan tetap merupakan pencerminan dari wawasan kebangsaannya. Lagi pula, meskipun realitas bangsa Indonesia ini sangat pluralistik, namun ia mempunyai daya perekat yang amat kuat yaitu ideologi negara pancasila, di mana keseluruhan silanya diyakini merupakan nafas keislaman. Kita mengharapkan HMI dapat tetap diandalkan oleh bangsa ini sebagai kekuatan Pancasila yang senantiasa dapat diandalkan.

Agenda Utama Pembangunan: Meningkatkan Kualitas SDM

Kualitas sumber daya manusia merupakan faktor penentu keberhasilan pembangunan dan kemajuan suatu bangsa. Pengalaman negara-negara Asia seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan singapura membuktikan kebenaran hal tersebut. Kelima negara yang disebut menandakan Kebangkitan Ekonomi Asia itu telah berhasil mendorong kemajuan ekonomi mereka secara spektakuler dan mengagumkan. Tumpuan kemajuan mereka bukanlah kekayaan alam yang melimpah, melainkan pada kualitas sumber daya manusianya. 

Akan tetapi bagi Indonesia justru masalah sumber daya manusia ini masih merupakan problem utama. Kita menyadari bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain pada tahapan pembangunan yang setara dengan kita, bahkan di kawasan ASEAN sekalipun. Menurut laporan UNDP 1996, berdasarkan indikator Human Development lndex, lndonesia menempati peringkat ke-102 dengan angka HDI 0,641. sementara negara-negara ASEAN lain seperti Singapura menempati peringkat ke-34 (angka indeks 0,881), Brunei Darussalam peringkat ke-36 (angka indeks o,872), Thailand peringkat ke-52 (angka indeks 0,992), Malaysia peringkat ke-53 (angka indeks 0,826), dan Filipina peringkat ke-95 (angka indeks 0,666). Rentang peringkat itu lebih jauh lagi bila dibandingkan dengan Jepang, Hongkong, atau Korea selatan, yang masing-masing berada di peringkat ke-3 (angka indeks 0,938), ke-22 (angka indeks 0,909), dan ke-29 (angka indeks 0,886). 

Dengan demikian, kita harus berusaha dengan sunguh-sunguh untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain, khususnya di kawasan ASEAN. Meningkatkan kualitas SDM harus diarahkan pada penguasaan iptek untuk menopang kegiatan ekonomi agar lebih kompetitif. 

Memberikan prioritas utama terhadap pembangunan kualitas sumber daya manusia, terutama harus difokuskan pada upaya memperkuat basis pendidikan. Hal ini penting, sebab investasi human capital niscaya akan berdampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi di masa mendatang. Faktor keberhasilan dalam membangun basis pendidikan inilah, yang mengantarkan negara-negara di kawasan Asia Timur muncul menjadi kekuatan ekonomi yang dahsyat itu. Lompatan ekonomi itu digambarkan oleh Bank Dunia sebagai the East Asian Miracle keajaiban negara-negara Asia Timur. Pertumbuhan ekonomi yang berlangsung secara amat mengesankan di negara-negara yang disebut "Macan Asia" itu, justru dikarenakan mereka berhasil dalam investasi human capitalnya.

Memasuki abad ke-21, kemampuan bersaing suatu negara tidak lagi semata-mata ditentukan oreh keunggulan komparatif yang didasarkan pada pemilikan sumber daya alam dan ketersediaan tenaga kerja murah, melainkan ditentukan oleh penguasaan teknologi, informasi, dan keahlian manajerial. Bersamaan dengan itu harus disertai pula dengan kesiapan sumber daya manusia dan institusi-institusi pembangunan, untuk menyerap dan memanfaatkan iptek yang telah berkembang baik di dalam negeri sendiri maupun di negara lain. 

Dalam GBHN 1993 dinyatakan dengan tegas mengenai pentingnya peran iptek dalam pembangunan nasional. Bahkan iptek telah ditempatkan sebagai sarah satu asas penting dalam pembangunan. Oleh karena itu, perhatian yang sungguh-sungguh telah diberikan terhadap upaya pengembangan iptek sebagaimana tercermin pada alokasi anggaran yang disediakan di dalam pembangunan. Pada akhir Pelita V tahun 1993/1994 total anggaran iptek mencapai 701.20 miliar rupiah, dan pada tahun ketiga pelita Vl mengalami kenaikan dua kali lipat menjadi 1,392.86 miliar rupiah. Dari data tersebut kita merihat betapa ada perkembangan yang nyata dalam mengalokasikan anggaran pengembangan iptek ini, yang dari tahun ke tahun peningkatannya mencapai 25 persen. 

Peran iptek itu menjadi lebih penting lagi bila dikaitkan dengan proses industrialisasi. Kembali proses industrialisai itu mensyaratkan adanya SDM-SDM unggul yang menguasai iptek. Dalam hal ini, bangsa kita masih menghadapi masalah yang serius mengingat adanya ketidakseimbangan komposisi dalam disiplin sains dan teknologi dan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Ketidakseimbangan tersebut cukup mencolok. Pada tahun 1995 hanya 26,3 persen saja mahasiswa yang menuntut ilmu di bidang sains dan teknologi.

Jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik seperti Taiwan, Hongkong, Jepang, dan lain-lain persentase sarjana di bidang iptek di lndonesia masih sangat terbatas. Diukur dari persentase jumlah sarjana di bidang iptek terhadap penduduk usia 22 tahun, Indonesia baru mencapai 0,5 persen pada tahun 1991; sementara Taiwan 4,2 persen, bahkan Korea dan Jepang masing-masing sudah mencapai 6 persen pada tahun 1990. Untuk itu, dalam upaya mengejar kemampuan yang setara dengan negara-negara tetangga dan negara industri di kawasan Asia Pasifik, jumlah sarjana sains dan teknorogi pada strata satu (s-1) akan ditingkatkan dari 1 5 ribu per tahunnya pada awal PJP ll menjadi 65 ribu pada akhir PJP ll nanti.

Pemenuhan SDM yang berkualitas dan unggul karena menguasai iptek, akan berpengaruh terhadap struktur industri di masa depan. Dan apabila sasaran di atas bisa dipenuhi, akan semakin kuat basis industri yang sedang dibangun dan dikembangkan di Indonesia, yang pada gilirannya akan mendorong transformasi struktur ekonomi secara lebih cepat.

Peran Strategis HMI di Masa Depan 

Dalam upaya membangun dan menyiapkan sumber daya manusia berkualitas, terutama dalam menghadapi abad ke-21 yang sudah di ambang pintu, perguruan tinggi mempunyai peranan yang amat strategis. Berarti peran dari segenap sivitas akademika, dan berarti pula para mahasiswanya.

Dengan demikian, peran dan kiprah HMI akan senantiasa relevan di masa depan bila ia memusatkan perhatian pada upaya membangun sumber daya manusia berkualitas, yang dibutuhkan dalam pembangunan di abad ke-21. Dalam perspektif demikian, ada beberapa harapan saya terhadap HMI dan perannya di masa depan.


1. Memperkuat Basis Komunitas 

Intetektual Peran strategis HMI yang diharapkan adalah sebagai wahana pembinaan mahasiswa, yang bertujuan untuk melahirkan sumber daya manusia yang andal dan memiliki keunggulan. HMI diharapkan akan memberi perhatian lebih besar terhadap upaya membangun basis kelompok terdidik dan terpelajar, yang menjadi cikal bakal lahirnya sumber daya manusia berkualitas, andal, dan memiliki keunggulan. Kelompok ini dapat disebut sebagai komunitas intelektual, yang merupakan soko guru kelompok elite strategis suatu bangsa. Dalam kurun waktu yang relatif lama, HMI telah berhasil membangun tradisi intelektual yang amat baik. Tradisi ini harus dilanjutkan dan ditingkatkan lagi di masa depan.

HMI harus merupakan wahana bagi para mahasiswa untuk mengaktualisasikan potensi intelektual mereka, agar bisa berkembang dengan baik. HMI harus membuat dirinya menjadi wadah agar potensi tersebut bisa berkembang secara optimal dalam sebuah lingkungan sosial yang kondusif . sebagai organisasi kemahasiswaan, HMI diharapkan menjadi wadah dan tempat pembelajaran di luar kurikulum akademik perguruan tinggi, yang memungkinkan mahasiswa mengembangkan aktivitasnya secara kreatif dan inovatif.

Sebagai institusi pembelajaran di luar kurikulum akademik perguruan tinggi, HMI dapat memberi kontribusi yang besar terhadap proses pematangan mahasiswa sebagai kelompok masyarakat terpelajar. Dengan membangun manusia-manusia terdidik melalui proses pembelajaran, pemupukan potensi intelektual dan kepemimpinan, seda penguatan kapasitas belajar secara kontinum, diharapkan HMI bisa turut melahirkan manusiamanusia unggul masa depan. yaitu manusia-manusia yang cerdas, terampil, memiliki etos kerja tinggi, semangat dan daya juang (fighting spirit) yang bergelora, sehingga siap menyongsong kehidupan global yang sangat kompetitif. 

Kecuali itu, melalui pembinaan watak, HMI diharapkan bisa melahirkan mahasiswa dan alumni sebagai insan-insan terdidik yang bermoral kuat, berintegritas tinggi, berkepribadian tangguh, peka dan mempunyai kepedulian sosial, berjiwa kebangsaan, memiliki kualitas kepemimpinan, serta kuat dalam memegang tradisi dan jati diri sebagai bangsa. 

Dalam HMI perlu diperkuat kultur yang memungkinkan tumbuhnya sikap kemandirian di kalangan para aktivisnya. HMI selama ini telah menjadi medan penempaan para aktivis mahasiswa, dan ini harus makin diefektifkan. Melalui HMI para mahasiswa hendaknya secara dini dihadapkan pada berbagai problem sosial dan bergumul dengan realitas kehidupan kemasyarakatan, yang mempersiapkan mereka untuk kehidupan yang nyata dikemudian hari. Dengan proses sosial sepertini HMI bisa membentuk sikap hidup mandiri dan membina mentalitas yang tangguh dikalangan mahasiswa dalam menghadapi persoalan-persoalan kehidupan pada waktu mereka terjun di masyarakat nanti.

2. Mengembangkan dan Menguasai Iptek

HMI sebagai organisasi para kader pembangunan yang lslami dan berwawasan kebangsaan, diharapkan akan terus berusaha mengapresiasi secara kreatif dan inovatif berbagai gejala dan kencenderungan yang dilahirkan oleh kemajuan iptek. HMI harus dapat merespons dengan tepat tuntutan eksternal yang tidak bisa dielakkan, yaitu perkembangan global yang didominasi ofeh peranan iptek secara amat kuat. Sebagai organisasi kemasyarakatan pemuda, dan sebagai bagian dari komunitas perguruan tinggi, HMI harus memelopori pengembangan budaya iptek di kalangan masyarakat. 

Dengan sendirinya, usaha memperkuat basis ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, harus disertai pula dengan pemantapan wawasan spiritualitas yang tercermin pada peningkatan kualitas iman dan takwa kepada Allah SWT. Keimanan dan ketakwaan harus menjadi landasan etik dalam mengembangkan iptek. Dengan kata lain, usaha meraih kemajuan di bidang iptek itu harus tetap berakar pada tradisi religiositas yang kuat. Hal ini amat penting, mengingat masa depan dunia sangatlah rumit dan keimanan dan ketakwaan pulalah yang dapat menjadi pegangan yang kukuh agar kehidupan masyarakat dan individu bangsa Indonesia tidak terombang-ambing.

3. Memperkukuh Wawasan Kebangsaan 

HMI juga dituntut untuk senantiasa meneguhkan dan memantapkan wawasan kebangsaan di kalangan anggotanya. ldentitas lslam di dalam HMI hendaknya merefleksikan semangat dan kesadaran bahwa HMI merupakan bagian yang terintegrisi dalam masyarakat lndonesia. Dengan demikian, HMI dituntut untuk bisa melakukan sintesa harmonis antara wawasan keislaman dan wawasan kebangsaan. lslam merupakan semangat pergerakan di dalam tubuh HMl, sedangkan wawasan kebangsaan haruslah menjadi basis HMI dalam melakukan pergerakan itu. 

Meneguhkan dan memantapkan wawasan kebangsaan ini bukan hanya berdimensi internal, melainkan juga berdimensi eksternal yakni untuk mengantisipasi gelombang globalisasi pada abad ke-21 nanti. Peneguhan dan pemantapan wawasan kebangsaan ini, selain untuk menghadapi tantangan globalisasi, juga agar keutuhan kita sebagai bangsa tetap terpelihara dan terjaga dengan baik. Meneguhkan dan memantapkan wawasan kebangsaan dalam era globalisasi ini sungguh penting, karena ada potensi nilai-nilai kebangsaan terdesak karena menguatnya nilainilai universal. HMI dapat berperan besar dalam usaha kiia untuk terus menerus memupuk dan memperkukuh wawasan kebangsaan dalam masyarakat Indonesia yang sangat majemuk itu. 

4. Memperkuat Basis Kepemimpinan 

Sebagai organisasi mahasiswa, HMI merupakan tembaga strategis wadah pembentukan kepemimpinan. Bangsa kita membutuhkan pemimpin-pemimpin yang tangguh dan memiliki visi yang jelas tentang pembangunan nasional dan masa depannya. Kepemimpinan yang tangguh dan bervisi itu tidak bisa lahir secara tiba-tiba, tetapi harus melalui suatu proses; ada masa penempaan, penggodogan, dan pengujian, baik ketika masih menjadi mahasiswa maupun sesudah terjun ke masyarakat. HMI yang telah terbukti merupakan wadah kelahiran pemimpin-pemimpin di masa lalu, diharapkan dapat terus menjadi kancah dan medan penempaan, penggodogan, dan pengujian bagi calon-calon pemimpin bangsa di masa depan yang kualitasnya sesuai untuk menghadapi tantangan masa depan, yang tidak sama dengan masa lampau atau masa kini.

HMI telah memiliki tradisi kepemimpinan yang baik. Tanpa ditopang oleh basis kepemimpinan yang kuat, akan sulit kiranya bagi HMI untuk mampu bukan saja bertahan dalam menghadapi tantangan-tantangan, tetapi juga mengembangkan organisasi dalam zaman yang berganti-ganti. Menghadapi masa depan yang sangat dinamis HMI kita harapkan dapat menjadi basis bagi pari anggota dan aktivis untuk membangun jiwa, semangat, dan kemampuan kepemimpinan. oleh karenanya, memperkuat basis kepemimpinan bukan hanya bagi organisasi HMI sendiri, tetapi untuk bangsa secara keseruruhan merupakan hal yang penting untuk menjadi agenda HMI.

Penutup

Pada bagian akhir tulisan ini saya ingin kembali menegaskan, bahwa memasuki abad ke-21 sebagai bangsa kita akan menghadapi berbagai macam tantangan yang berat. Terutama tantangan karena persaingan global di antara bangsa-bangsa di dunia, khususnya dalam kehidupan ekonomi, tetapi luga di bidang budaya. Setiap bangsa termasuk bangsa Indonesia dituntut untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya ke arah itu.

Tantangan yang paling utama adalah membangun sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki keunggulan kompetitif. Tantangan ini harus dapat dijawab ofeh kita semua, pemerintah, dan juga lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, termasuk organisasi kemahasiswaan seperti HMl. Tantangan bagi HMl, seperti juga dalam kancah yang lebih besai bagi seluruh masyarakat Indonesia, adalah bagaimana mencari cara atau format yang tepat untuk secara cepat dan efektif membangun sumber daya manusia yang akan menjadi andalan bangsa Indonesia pada abad ke-21.

Demikianlah sumbangan pikiran saya. Semoga bermanfaat. Selamat berulang tahun dalam Tahun Emas. Semoga Allah swt. senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua.

Dirgahayu HMl.

Rabu, 30 Agustus 2017

SEJARAH HMI

PENGANTAR ILMU SEJARAH 

Pengertian 

Sebagai ilmu, sejarah terkait pada prosedur penelitian ilmiah. Sejarah juga terikat pada penalaran yang bersandar pada fakta (bahasa latin factus berarti apa yang sudah selesai). Kebenaran sejarah terletak dalam kesedian sejarawan untuk meniliti sumber sejarah secara tuntas, sehingga diharapkan ia akan mengungkap secara objektif. Hasil akhir yang diharapkan ialah kecocokan antara pemahaman sejarawan dengan fakta. 

Sejarah ialah ilmu tentang manusia. Sejarah ialah ilmu tentang waktu. Sejarah ialah tentang sesuatu mempunyai makna social. Sejarah ialah ilmu tentang sesuatu yang tertentu, satu-satunya, dan terperinci. Jadi apakah sejarah itu? Sejarah adalah rekonstruksi masa lalu. Apa yang direkonstruksi sejarah? Ialah apa saja yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan, dan dialami oleh seorang. Sejarawan dapat menulis apa saja, asal memenuhi syarat untuk disebut sejarah. 

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, ilmu sejarah adalah suatu pengetahuan atau uraian mengenai peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau. Dari pengertian atau definisi di atas maka dapatlah dibedakan antara sejarah dan ilmu sejarah, sejarah adalah kejadian atau peristiwanya, sedangkan ilmu sejarah adalah ilmu yang mempelajari kejadian atau peristiwa tersebut. 

Manfaat dan Kegunaan Mempelajari Ilmu Sejarah 

Orang tidak akan belajar sejarah kalau tidak ada gunanya. Kenyataan bahwa sejarah terus ditulis orang, disemua peradaban dan sepanjang waktu, sebenarnya cukup menjadi bukti bahwa sejarah itu perlu. Tetapi bagi mereka yang meragukan hasil peradaban manusia ini, baiklah di sini akan dipaparkan manfaat dan kegunaan sejarah. 

Sejarah itu berguna secara intrinsic dan ekstrinsik. Ada setidaknya empat guna sejarah secarah intrinsic, yaitu (1) sejarah sebagai ilmu, (2) sejarah sebagai cara mengetahui masa lampau, (3) sejarah sebagai pernyataan pendapat, dan (4) sejarah sebagai profesi. Selanjutnya, secara umum sejarah mempunyai fungsi pendidikan, yaitu sebagai pendidikan (1) moral, (2) penalaran, (3) politik, (4) kebijakan, (5) perubahan, (6) masa depan, (7) keindahan, dan (8) ilmu bantu. Selain sebagai pendidikan, sejarah juga berfungsi sebagai (9) latar belakang, (10) rujukan, dan (11) bukti. 

MISI KELAHIRAN ISLAM 

Masyarakat Arab Pra Islam 

Masyarakat Arab pra Islam atau yang lebih dikenal dengan masyarakat jahiliyah hidup dalam keterbelakangan, baik pengetahuan, sosial budaya maupun peradaban. Masyarakat arab pra Islam tidak mengenal tulis dan baca, walaupun ada yang dapat menulis dan membaca itu hanya sebagian kecil saja, namun pemahaman atau kebanggaan akan sastra demikian tingginya, jadi dapat disimpulkan bahwa masyarakat Arab pada masa itu hidup dalam kebodohan. Posisi wanita pada saat itu tidak dihargai, mereka hanya dipandang sebagai benda bergerak yang menyenangkan, bahkan wanita dianggap sebagai beban dan sumber bencana, implikasinya adalah ada anggapan jika memiliki anak wanita akan mengakibatkan kemiskinan. Dampak dari pandangan itu, maka tak heran jika mereka sering mengubur bayi wanita hidup-hidup (kalau sekarang, belum lahir sudah dibunuh). Selain itu masyarakat Arab pra Islam hidup dalam perpecahan klan (keluarga besar), karena mereka lebih menonjolkan ego kesukuan atau kabilah, ini menyebabkan masyarakat Arab sering berperang antar kabilah dan tidak memiliki rasa kebangsaan yang menyebabkan bangsa Arab menjadi lemah dan terpecah-pecah. 

Periode Kenabian Muhammad 
# Fase Makkah 

Muhammad lahir di Makkah pada masa keadaam masyarakat yang buruk sekali. Muhammad lahir pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun Gajah, bertepatan dengan tanggal 20 April 571 M. Muhammad putra tunggal dari pasangan Abdullah dan Aminah. Sejak kecil Muhammad memiliki sifat yang terpuji sehingga kemudian ia dijuluki “al-amin” atau orang yang dapat dipercaya. Pada usia yang ke-25 Muhammad menikah dengan seorang janda kaya yang bernama Khadijah. Dalam masa pernikahannya ini Muhammad sering melakukan perenungan/kontemplasi di luar kota Makkah, tepatnya di sebuah gua yang bernama Hira, beliau selalu memikirkan keadaan masyarakatnya yang demikian rusak. 

Pada saat Muhammad mendekati usia 40 tahun, beliau makin sering stress memikirkan bangsanya, sehingga pelariannya dengan menyepi di gua Hira semakin sering kuantitasnya. Suatu malam di bulan Ramadhan tepatnya tanggal 17 Ramadhan yang bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610, datanglah suatu penampakan yang ternyata adalah malaikat Jibril yang menyampaikan wahyu pertama (AlAlaq : 1 – 5), dan ini pertanda bahwa Muhammad telah dilantik menjadi rasul dan nabi walaupun tanpa berita acara. Pasca wahyu di gua Hira, Muhammad s.a.w. mendapat wahyu-wahyu berikutnya yang memerintahkan kepada Muhammad s.a.w untuk menyampaikan dakwah. Isi dakwahnya adalah ajakan untuk melakukan perubahan-perubahan yang revolusioner, perubahan yang dibawa antara lain perubahan akhlak, karena Islam mengajarkan akhlak yang baik. Perubahan lain adalah nilai persamaan, yang dimaksud adalah kesetaraan antar umat manusia, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, antar ras, bangsa, dan lain sebagainya, di mata Allah yang berbeda adalah ketaqwaan. Selain itu, ilmu pengetahuan menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan, serta membangun solidaritas persaudaraan yang berimplikasi pada penguatan nasionalisme atau keutuhan dalam berbangsa dan beragama. 

Pada fase Makkah ajaran yang disampaikan Muhammad s.a.w berkaitan atau berhubungan pada nilai ketauhidan atau iman, karena pada saat itu ajaran Islam baru tegak kembali, sehingga yang harus dibangun pertama-tama adalah fondasi aqidah atau iman yang dijadikan landasan fundamental. 

Tiap tahun kota Makkah selalu didatangi oleh kabilah-kabilah dari seluruh Arab yang datang untuk untuk melakukan shoping atau ibadah haji. Muhammad s.a.w melakukan dakwah terhadap orang-orang tersebut, dan usaha ini tidak sia-sia karena dari kalangan yang berasal dari daerah-daerah tersebut ada yang menyatakan keimanannya, diantaranya dari Yastrib. Konsekuensi logis dari gerakan revolusioner berdampak pada peningkatan konstelasi politik masyarakat Makkah, yang pada akhirnya memberikan satu pilihan kepada Muhammad s.a.w untuk meninggalkan Makkah. Pada hijrah yang kedua, Muhammad s.a.w. menginstruksikan kepada para pendukungnya untuk meninggalkan kota Makkah menuju Yastrib yang dikemudian hari dikenal dengan Madinah. Muhammad s.a.w pun pada akhirnya terpaksa harus meninggalkan Makkah menuju Madinah, maka dimulailah babak baru dalam Islam, fase Madinah. 

# Fase Madinah 

Fase Madinah dimulai sejak hijrahnya Muhammad s.a.w dari Makkah ke Madinah, karena Madinah dianggap baik untuk pembenihan Islam. Kaum muslimin yang berada di Madinah terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Anshar (kaum muslimin tuan rumah) dan Muhajirin (kaum muslimin pendatang dari Makkah), maka langkah pertama yang dilakukan adalah mempertalikan hubungan kekeluargaan atau hubungan persaudaraan antara kaum Anshar dan Muhajirin, karena hanya dengan persatuanlah, maka umat Islam akan kuat. Selanjutnya dilakukan lobi-lobi politik atau perjanjian dengan kelompok di luar Islam yang ada di Madinah, karena pada saat itu telah ada kelompok lain yang tinggal di sana, antara lain Yahudi. 

Dimadinahlah Muhammad s.a.w. melakukan pembinaan masyarakat Islam. Pembinaan masyarakat ini tidak hanya di bidang aqidah, tetapi juga menyangkut masalah politik, ekonomi, dan sosial budaya. Di Madinah perkembangan ajaran Islam maju dengan pesat, pada fase ini ajaran lebih ditekankan pada hukum kemasyarakatan atau lebih kepada muamallah. Dengan semakin besarnya kamum muslimin, dianggap merupakan ancaman bagi kelompok lain, maka semakin benci pula orang-orang Quraisy kepada Muhammad s.a.w. dan para pendukungnya. Konstelasi kebencian makin meningkat sehingga mengakibatkan timbulnya peperangan, antara lain Badr, Uhud, Ahzab, Khandaq, dan beberapa perang lainnya. Pada prinsipnya bagi kaum muslimin peperangan ini adalah upaya defensif dan dalam rangka menegakkan kalimah tauhid. Muhammad s.a.w. mangkat dan dimakamkan di Madinah di usia 63 tahun, pada tanggal 12 Rabiul Awal 11 H, bertepatan dengan tanggal 8 Juni 632. 

LATAR BELAKANG BERDIRINYA HMI 
Kondisi NKRI 

HMI berdiri pada saat dimana Indonesia harus mempertahankan kemerdekaan yang direbutnya pada tanggal 17 Agustus 1945 dari tangan penjajah. Keinginan untukmenjajah kembali, menjadikan Belanda datang lagi setelah Jepang bertekuk lutut dihadapan tentara sekutu. Dengan menumpang pasukan Sekutu yang mendarat padatanggal 29 September 1945, Belanda kembali ke Indonesia dan melakukan serangan-serangan atas beberapa wilayah Indonesia. Perang kembali berkobar dan teriakan-teriakan “Allahu Akbar” kembali menggema, memberikan semangat pada pejuang-pejuang Indonesia.Beberapa perlawan dilakukan oleh bangsa kita, diantaranya adalah:Pertempuran 5 hari di Semarang (15-20 Oktober 1945), Pertempuran 15 Oktober 1945di Padang, Pertempuran 7 Oktober 1945 di Kotabaru, Yogyakarta, dan puncaknya adalah Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Semuanya adalah dalam rangka mempertahankan bumi pertiwi dari tangan para penjajah.Selain perlawanan fisik, perlawanan dengan cara diplomasipun dilakukan.Dengan mengikuti perundingan Lingar Jati, Renville dan KMB (Konferensi Meja Bundar),para pemimpin kita berusaha menggunakan cara-cara moderat dan anti kekerasanuntuk menjaga kesatuan wilayah nusantara. Perundingan Linggar Jati dilakukan pada tanggal 25 maret 1947, menghasilkankesepakatan tentang eksistensi wilayah Indonesia yang hanya meliputi: Jawa, Madura dan Sumatera, serta pengakuan terhadap terbentuknya Negara Indonesia Serikat(RIS). Terlepas dari pro dan kontranya hasil perundingan itu, di kalangan tokoh-tokoh pergerakan waktu itu, perundingan ini merupakan sebuah kemajuan bagi perjuangan pergerakan bangsa kita. 

Pasca perundingan, di tubuh kabinet terjadi perpecahan. Partai sosialis (yang memimpin kabinet) terpecah menjadi dua, yaitu sosialis demokrat yang dipelopori olehSutan Syahrir dan sosialis revolusioner (PKI) dengan tokohnya Amir Syarifuddin.Perpecahan ini berimbas diturunkannya Syahrir dari kursi perdana menteri dandigantikan oleh Amir Syarifuddin. 

Penggantian ini menimbulkan kemarahan di kalangan Masyumi dan termasuk HMI. Dengan demonstrasi-demonstrasi yang dilakukanya HMIbersama kekutan Islam lain, mereka menuntut dibubarkannya kabinet Amir Syarifuddin.Dasar penjajah, secara sepihak Belanda melakukan pelanggaran terhadap hasil-hasil perundingan itu. Tanggal 29 Juni 1947, Belanda melakukan agresi militer I denganmengultimatum pengakuan wilayah Belanda atas Indoesia. Maka dengan segalakegigihan semangatnya, TNI yang dipimpin oleh Panglima Besar Jenderal Sudirmanmelakukan perang gerilya di hutan-hutan dan pegunungan. Perlawanan ini berakhirdengan ditandatanganinya perjanjian Renville di atas geladak kapal Renville milik AS.Poin penting dari perundingan tersebut adalah diadakanya gencatan senjata sambil menunggu perundingan lebih lanjut. 

Secara umum, hasil perundingan ini tidak memuaskan para pemimpin bangsaIndonesia waktu itu. Oleh kubu yang menentangnya, perundingan ini dijadikan sebagaialat untuk memukul balik Amir Syarifuddin dengan mengatakannya sebagai sebuahkemunduran dan kegagalan kabinetnya. Atas kegagalan ini, kabinet Amir Syarifuddin kemudian diganti dengan kabinet baru pimpinan Mohammad Hatta yang mendapatdukungan dari kalangan Islam, termasuk dari HMI. 

Tentu saja penggantian pergantian dari kabinet Amir Syarifuddin ke kabinetMohammad Hatta ini sangat mengecewakan PKI dan para pengikutnya. Mereka berpikirkeras bagaimana mengembalikan kekuasaan yang sebelumnya sudah di tangan, melalui Amir Syarifuddin. Kepulangan salah satu kader PKI, Muso, dari tugas belajarnya di UniSovyet (sekarang Rusia) menjadikan PKI seakan mendapatkan ruh barunya. Musomampu memberikan pijakan ideologis yang kuat bagi PKI. Muso mengimpikanmenjadikan Indonesia sebagai negara komunis murni, yang merupakan sebagai bagiandari Komunisme Internasional (Komintern). Duet Amir dan Muso inilah yang kemudianmenjadikan PKI semakin radikal dan berani. Hatta dianggap sebagai representasi kaumborjuis yang kontra revolusi dan merupakan antek-antek kapitalis. 

Klimaksnya adalah persitiwa berdarah, Madiun 1948, yang mengakibatkanhilangya lebih dari 150.000 nyawa anak bangsa tak berdosa. Waktu itu, PKI berhasilmemobilisir massa petani Madiun untuk melakukan perlawanan terhadap negara.Konflik petani yang pada mulanya hanya perebutan atas tanah (yang kebanyakandikuasai oleh golongan beragama dan nasionalis) berubah menjadi konflik antarkelompok pengikut komunis dan non-komunis, bahkan antar golongan agama dan non-agama (Juliantara 199). HMI sebagai bagian dari kelompok yang anti komunis terlibatdalam konflik ini. Dalam rangka penumpasan PKI di Madiun, HMI mengirimkan kader-kadernya dikirim ke Madiun. Mereka tergabung dalam CMI (Corps MahasiswaIndonesia) yang dipimpin oleh Achmad Tirto Sudiro. 

Pasca konflik di Madiun, lagi-lagi Belanda menghianati perjanjian. Secara sepihakBelanda membatalkan perjanjian Renville dan melakukan penyerangan mendadak padatnggal 19 Desember 1949 di Yogyakarta (terkenal dengan Agresi Milter II). Beberapatokoh penting seperti Sukarno, Hatta, Agus Salim dan lainya ditangkap dan diasingkan.Beruntunglah pemerintah cekatan bertindak dengan segera membentuk pemerintahanDarurat di Summatera yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara. Maka secara de jure pemerintahan Indonesia masih eksis, meskipun Ibu Kotanya dikuasai oleh tentaragabungan (NICA) pimpinan Belanda. 

Tanggal 23 Agustus s.d. 2 November 1949, atas instruksi PBB, diadakanlah Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda. Dalam perundingan itu diputuskan pengakuan kedaulatn Indonesia oleh pemerintah Belandapada tangga 10 Desmber 1949. Melalui momen inilah kemerdekaan Indonensia, yangsudah dideklarasikan 17 Agustus 1945, kembali direbut dan wilayah Negara KesatuanRepublik Indonesia (NKRI) kembali berdaulat. 

Kondisi Islam di Dunia 

Kondisi umat Islam dunia pada saat menjelang kelahiran HMI dapat dikatakan ketinggalan dibandingkan masyarakat Eropa dengan Reinasance-nya. Ini dapat dilihat dari penguasaan teknologi maupun pengetahuan, bahkan sebagain besar umat Islam berada di bawah ketiak penindasan nekolim barat yang notabene dimotori oleh kelompok Kristen. Umat Islam hanya terpaku, terlena oleh kejayaan masa lampau atau pada zaman keemasan Islam. Umat Islam pada umumnya tidak memahami ajaran Islam secara komprehensif, sehingga mereka hanya berkutat seputar ubudiyah atau ritual semata tanpa memahami bahwa ajaran Islam adalah ajaran paripurna yang tidak hanya mengajarkan hubungan manusia dengan Tuhan, namun lebih jauh daripada itu menderivasikan hubungan transenden ke dalam seluruh aspek kehidupan. 

Berangkat dari pemahaman ajaran Islam yang kurang, umat berada dalam keterbelakangan dan fenomena ini terjadi dapat dikatakan di seluruh dunia. Hal tersebut mengakibatkan terpuruknya umat Islam yang dijanjikan Allah untuk dipusakai alam semesta. Lebih ironis lagi ketika umat terbagi menjadi berbagai golongan yang hanya berangkat dari masalah khilafiyah, yang bedampak pada melemahnya kekuatan Islam. 

Kondisi Islam di Indonesia 

Abad ke-19 merupakan abad modern dalam sejarah perkembangan peradabanIslam. Abad ini ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran modern Islam yangmengilhami gerakan revivalisme Islam sebagai counter dari kuatnya hegemoni Baratterhadap peradaban dunia. Pemikir-pemikir Islam yang banyak dikenal pada masa itumisalnya adalah Jamalauddin Al-Afgani (1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1915),Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), M. Iqbal (1876-196) dan sebagainya. Melalui karya-karya dan gerakannya meraka mengilhami munculnya gerakan revivalisme Islam diberbagai negara. Beberapa gerakan revivalis yang Muncul adalah Pan Islamisme, Jemi’atAl-Islami, Ikhwanul Muslimin dan sebagainya. Beberapa diantara pemikiran tersebutkemudian sampai ke Indonesia melalui tokoh-tokoh Islam Indonesia yang belajar ketimur. Hasim Asy’ari (NU), Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), dan A. Hassan (Persis)merupakan beberap tokoh pelopor yang besar dan terdidik di Timur Tengah dankemudian kembali ke Indonesia mendirikan organisasi ke-Islaman seperti NahdlatulUlama (NU), Muhammadiyah, dan Persatuan Islam (PERSIS). 

Di sisi lain, penerapan politik etis (Etische Politiek) oleh Belanda semakin memberikan kesempatan kepada para tokoh pribumi untuk mendapatkan pendidikan diBarat. Berbekal pendidikan inilah lantas tak sedikit kaum pribumi mulai dapat menyerapnarasi-narasi besar (nansionalisme, demokrasi dan sosialisme) yang telah lebih dahuluberkembang di negeri lain. Mereka mulai mempelajari metode perjuangan terorganisasi,bahkan kemudian mempelopori gerakan penyadaran rakyat secara terorganisasi sebagai salah satu alat perjuangan (Purwanto 1999). 

Tersebutlah beberapa organisasi pergerakan Islam seperti yang lahir pada faseitu: Serikat Dagang Islam (1908), Sarikat Islam (1912), Muhammadiyah (1912), PersatuanUmmat Islam (1917), Persatuan Islam (1923), Nahdlatul Ulama (1926), Al-jami’atulWasliyyah (1930) Perti, dan Al Irsyad (1931), yang mempelopori era baru perjuangankemerdekan Indonesia secara lebih terorganisir. Meskipun pada mulanya organisasi-organisasi tersebut hanya bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan saja, akantetapi sesuai dengan tuntutan perkembangan bangsa yang berkeinginan untuk segeramencapai kemerdekaannya, beberapa organisasi itu kemudian berubah menjadi partai politik. 

Puncak dari massifikasi perjuangan keorganisasian Islam adalah lahirnya Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) pada tahun 1945. Masyumi sebagai sebuahpartai politik, lahir dari hasil dari Muktamar I Ummat Islam Indonesia yang diselenggarakan pada tanggal 7 November 1945. Pada mulanya Masyumi bukanlah merupakan sebuah partai politik, akan tetapi merupakan wadah tunggal yang dibentuk oleh pemerintah Jepang bagi ummat Muslim untuk mengkooptasi kekuatan-kekuatan Islam. Waktu itu namanya adalah MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) yang dipimpin olehK.H. Hasyim As’ari (pendiri NU). 

Masyumi bisa menjadi payung bagi seluruh ummat Islam karena terbentuk dari gabungan beberapa organisasi Islam yang berbeda-beda. Dalam Mu’tamar Ummat IslamI tersebut, dihasilkan beberapa keputusan : 

  1. Mendirikan satu partai Islam yang bernama MASYUMI 
  2. MASYUMI adalah satu-satunya partai politik Islam, dan tidak bolehmendirikan partai politik Islam lain kecuali Masyumi. 
  3. MASYUMI-lah yang akan memperjuangkan nasib ummat Islam di bidang politik 

Di Masyumi bukan hanya tergabung organisasi-organisasi Islam modernis saja,melainkan juga organisasi Islam puritan seperti Persis, organisasi yang mewakilikalangan Islam tradisional (NU dan Perti), juga organisasi Islam populis seperti PSII. 

Bersamaan dengan itu, dikalangan generasi muda, sebenarnya juga lahirorganisasi yang bukan bercorak politik maupun sosial, akan tetapi bercorak intelektual.Organisiasi tersebut adalah Jong Islaminten Bond, yang didirkan pada tahun 1925 olehseorang anak muda bernama R. Samsurijal (seorang anggota SI, mantan Wali KotaJakarta). Tujuan organisasi ini adalah menyeru kepada para anggota agar sungguh-sungguh mempelajari Islam, memperkokoh cinta-kasih demi keimanan Islam, dan agar dengan sabar menjaga hubungan bersahabat dengan mereka yang menganut keimanandan keyakinan ideologi lain (Mintareja 1974 dalam Sitompul 1976). 

Dilihat dari karakternya, organisasi ini identik dengan HMI. Dan berdasarkanketerangan beberapa sumber, berdirinya HMI memang salah satunya atas inspirasi dariJong Islaminten Bond ini (Tanja 1978). 

Kondisi Perguruan Tinggi dan Mahasiswa Islam 

Sebutan Yogyakarta sebagai kota pelajar dikarenakan kota ini sangat kondusif untuk menjadi pusat pengembangan pendidikan. Pada saat berdirinya HMI, beberapaperguruan tinggi yang ada di Yogyakarta adalah : 

  1. Sekolah Tinggi Islam (STI), tempat di mana HMI didirikan pada tanggal 8 Juli1945. Mulanya sekolah ini berkedudukan di Jakarta, akan tetapi seiringpindahnya Ibu Kota RI ke Yogyakarta pada tahun 1946 akibat agresi Belanda,menjadikan STI juga turut pindah Ke Yogyakarta. Pada tanggal 20 Mei 1948,sekolah ini berubah nama menjadi UII (Universitas Islam Indonesia). 
  2. Universitas Gadjah Mada yang berdiri pada tanggal 17 Februari 1946 danwaktu itu belum menjadi universitas negeri. UGM baru dinegerikan padatanggal 19 Desember 1949. 
  3. Akademi Ilmu Kepolisian (Akpol). 
  4. Sekolah Tinggi Teknik 

Kuatnya penyebaran ide-ide sosialisme dikalangan masyarakat menjadikanorganisasi mahasiswa yang ada didominasi oleh pemikiran-pemikiran sosialis. Nuansa-nuansa keagamaan menjadi kering karena PMY (Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta),sebagai satusatunya wadah mahasiswa waktu itu, meletakan landasanya pada non-agama. Tentu saja, bagi Lafran Pane dan kawan-kawannya, hal ini tidak bisa dibiarkanterus menerus. Harus ada organisasi mahasiswa yang perduli terhadap persoalan-persoalan keagamaan anggotanya. Meskipun untuk pembinaan generasi mudanya,masyarakat Islam Indonesia sudah mempunyai GPII (Gabungan Pemuda IslamIndonesia), akan tetapi belum ada organisasi untuk membina ke-Islaman untuk kalangan mahasiswa. Maka, atas kondisi ini, Lafran Pane dan kawankawanya berinisitaif mendirikan organisasi kemahasiswaan yang berlabelkan Islam. Organisasi tersebut kemudian diberi nama Himpunan Mahasiswa Islam atau disingkat HMI. 

Meskipun pada waktu itu status ia sendiri adalah sebagai salah satu pengurus PMY, dengan mendirikan HMI, ia dibenci oleh kawan-kawanya di PMY dan bahkankemudian dipecat dari anggota PMY. Ia dianggap sebagai pembangkang dan sosok yangakan mengancam keberadan PMY. 

Menurut Lafran Pane, motivasi utama didirikannya HMI adalah sebagai berikut : 
“… Sebagai alat mengajak mahasiswa-mahasiswa mempelajari, mendalami ajaran Islam agar mereka kelak sebagai calon sarjana, tokoh masyarakat maupun negarawan, terdapat keseimbangan tugas dunia-akhirat, akal-kalbu,serta iman-ilmu pengetahuan, yang sekarang ini keadaan kemahasiswaan di Indonesia diancam krisis keseimbangan yang sangat membahayakan, karenasistem pendidikan barat. Islam harus dikembangkan dan disebarluaskan di kalangan masyarakat mahasiswa di luar STI (Sekolah Tinggi Islam), apalagi PMY secara tegas menyatakan berdasarkan non-agama…” (Saleh, 1996). 

Saat Berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) 

HMI lahir pada saat umat Islam Indonesia berada dalam kondisi yang memprihatinkan, yaitu terjadinya kesenjangan dan kejumudan pengetahuan, pemahaman, penghayatan ajaran Islam sehingga tidak tercermin dalam kehidupan nyata. 

Pada saat HMI berdiri, sudah ada organisasi kemahasiswaan, yaitu Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY), namun PMY didominasi oleh partai sosialis yang berpaham komunis. Akibat didominasi oleh partai sosialis maka PMY tidak independen untuk memperjuangkan aspirasi mahasiswa, maka banyak mahasiswa yang tidak sepakat dan tidak bisa membiarkan mahasiswa terlbat dalam polarisasi politik. Sebagai realisasi dari keinginan tersebut maka di Yogyakarta pada Rabu Pon, 14 Rabiulawal 1366 H atau bertepatan dengan 5 Februari 1947 M pukul 16.00 WIB, lahir sebuah organisasi mahasiswa yang kelak menjadi wadahperkaderan bagi calon-calon pemimpin bangsa. Di tengah pergolakan nasionalmempertahankan kemerdekan dan polarisasi kaum terpelajar ke dalam pahamsosialisme, HMI muncul sebagai organisasi mahasiswa pertama yang memakai labelIslam. HMI adalah singkatan dari Himpunan Mahasiswa Islam yang ide pertamanyadikemukakan oleh Lafran Pane.Bertempat di salah satu ruang kuliah Sekolah Tinggi Islam/STI (sekarang UII), Jl.Setyodiningratan 30 (Sekarang P. Senopati 30), Lafran Pane, sebagai penggagas pertamaHMI memanfaatkan jam kuliah tafsir Alqur’an yang diasuh oleh Prof. Husein Yahya untukmendeklarasikan pembentukan HMI. Dengan berdiri tegak di hadapan kelas yangdihadiri oleh lebih kurang 20 mahasiswa, ia membacakan prakata sebagai berikut:

 “Hari ini adalah rapat pembentukan organisasi mahasiswa Islam, karena seluruh persiapan maupun perlengkapan yang diperlukan sudah siap…”. 

Acara deklarasi tersebut selesai seiring dengan terbenamnya matahari di ufuk barat.Sejak itu HMI secara resmi berdiri dengan beberapa tokoh pendiri antara lain: Lafran Pane, Kartono, Dahlan Husein, Anton Timur Djaelani, Yusdi Ghozali dan lain-lain. 

Berbicara mengenai berdirinya HMI, maka kita tidak akan lepas dari sosok yangpaling berperan yaitu Lafran Pane. Lafran Pane dilahirkan di Tapanuli Selatan pada tahun1925. Beliau adalah satu keluarga dengan Sanusi Pane dan Armyn Pane (penyairangkatan Pujangga Baru). Masa mudanya dipenuhi dengan petualangan dan pergulatanpemikiran yang amat keras, sehingga Lafran Pane muda dikenal dengan tingkah lakunyayang aneh dan ide-idenya sangat cerdas namun seringkali tidak sistematis. Pendidika agamanya diawali di lingkungan Islam tradisionalis Summatera. Metode pembelajaranagama dengan pengenalan sifat dua puluh (konsep ini sama dengan modelpembelajaran agama yang diterapkan oleh NU di Jawa) dikecap Lafran Pane waktu kecil.Setelah menginjak dewas, Lafran Pane kemudian melanjutkan pendidikan formalnya disekolah-sekolah modern milik Muhammadiyah (Sitompul 1976). 

Semenjak berdirinya, HMI merupakan organisasi independen yang berbasismahasiswa dengan mengutamakan kebebasan berpikir dan bertindak sesuai dengan hatinurani. Komitmen pada perjuangan Islam dalam bingkai Negara Kesatuan RepublikIndonesia merupakan idealisme yang selalu dipegang teguh oleh para kader HMI, Hal inisebagaimana tercantum dalam tujuan awal pembentukan HMI:

  1. Mempertahankan Negara republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. 
  2. Menegakkan dan mengembangkan Agama Islam 

GAGASAN DAN VISI PENDIRI HMI 

Sosok Lafran Pane 

Berdasarkan penelusuran dan penelitian sejarah, maka Kongres XI HMI tahun 1974 di Bogor menetapkan Lafran Pane sebagai pemrakarsa berdirinya HMI, dan disebut sebagai pendiri HMI.

Lafran Pane adalah anak keenam dari Sutan Pangurabaan Pane, lahir di Padang Sidempuan, 5 Pebruari 1922, pendidikan Lafran Pane tidak berjalan “normal” dan “lurus”. Lafran Pane mengalami perubahan kejiwaan yang radikal sehingga mendorong dirinya untuk mencari hakikat hidup sebenarnya. Desember 1945 Lafran Pane pindah ke Yogyakarta, karena Sekolah Tinggi Islam (STI) tempat ia menimba ilmu pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Pendidikan agama Islam yang lebih intensif ia peroleh dari dosen-dosen STI, mengubur masa lampau yang kelam. 

Bagi Lafran Pane, Islam merupakan satu-satunya pedoman hidup yang sempurna, karena Islam menjadikan manusia sejahtera dan selamat di dunia dan akhirat. Pada tahun 1948, Lafran Pane pindah studi ke Akademi Ilmu Politik (AIP). Saat Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada dan fakultas kedokteran di Klaten, serta AIP Yogyakarta dinegerikan pada tanggal 19 Desember 1949 menjadi Universitas Gadjah Mada (UGM), secara otomatis Lafran Pane termasuk mahasiswa pertama UGM. Setelah bergabung menjadi UGM, AIP berubah menjadi Fakultas Hukum Ekonomi Sosial Politik, dan Lafran Pane menjadi sarjana pertama dalam ilmu politik dari fakultas tersebut pada tanggal 26 Januari 1953. 

Gagasan Pembaharuan Pemikiran Keislaman 

Untuk melakukan pembaharuan dalam Islam, maka pengetahuan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan umat Islam akan agamanya harus ditingkatkan, sehingga dapat mengetahui dan memahami ajaran Islam secara benar dan utuh. Kebenaran Islam memiliki jaminan kesempurnaannya sebagai peraturan untuk kehidupan yang dapat menghantarkan manusia kepada kebahagian dunia dan akhirat. 

Tugas suci umat Islam dalah mengajak umat manusia kepada kebenaran Illahi dan kewajiban umat Islam adalah menciptakan masyarakat adil makmur material dan spiritual. Dengan adanya gagasan pembaharuan pemikiran keislaman, diharapkan kesenjangan dan kejumudan pengetahuan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam dalpat dilakukan dan dilaksanakan sesuai dengan ajaran Islam. Kebekuan pemikiran umat Islam telah membawa pada arti agama yang kaku dan sempit, tidak lebih dari agama yang hanya melakukan peribadatan. Al-Qur’an hanya dijadikan sebatas bahan bacaan, Islam tidak ditempatkan sebagai agama universal. Gagasan pembaharuan pemikiran Islam ini pun hendaknya dapat menyadarkan umat Islam yang terlena dengan kebesaran dan kejayaan masa lalu. 

Gagasan dan Visi Perjuangan Sosial Budaya

Ciri utama masyarakat Indonesia adalah kemajemukan sosial budaya, kemajemukan tersebut merupakan sumber kekayaan bangsa yang tidak ternilai, tetapi keberagaman yang tidak terorganisir akan mengakibatkan perpecahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Tujuan awal saat HMI berdiri juga tidak terlepas pada gagasan dan visi perjuangan sosial budaya, yaitu : 
  1. Mempertahankan negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia
  2. Menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam 
Dari tujuan tersebut jelaslah bahwa HMI ingin agar kehidupan sosial budaya yang ada menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia guna mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih. Untuk menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam pun harus dipelajari kondisi sosial budaya agar tidak terjadi benturan kultur. 

Masyarakat muslim Indonesia yang hanya memahami ajaran Islam sebatas ritual harus diubah pemahamannya dan keadaan sosial budaya yang telah mengakar ini tidak dapat diubah serta merta, tetapi melalui proses panjang dan bertahap. 

Komitmen Keislaman dan Kebangsaan sebagai Dasar Perjuangan HMI 

Dari awal terbentuknya HMI telah ada komitmen keumatan dan kebangsaan yang bersatu secara integral sebagai dasar perjuangan HMI yang dirumuskan dalam tujuan HMI yaitu : 
  1. Mempertahankan negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia yang didalamnya terkandung wawasan atau pemikiran kebangsaan atau ke-Indonesiaan 
  2. Menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam yang didalamnya terkandung pemikiran ke-Islaman.

Komitmen tersebut menjadi dasar perjuangan HMI didalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai organisasi kader, wujud nyata perjuangan HMI dalam komitmen keumatan dan kebangsaan adalah melakukan proses perkaderan yang ingin menciptakan kader berkualitas insan cita yang mampu menjadi pemimpin yang amanah untuk membawa bangsa Indonesia mencapai asanya. 

Komitmen keislaman dan kebangsaan sebagai dasar perjuangan masih melekat dalam gerakan HMI. Kedua komitmen ini secara jelas tersurat dalam rumusan tujuan HMI (hasil Kongres IX HMI di Malang tahun 1969) sampai sekarang, “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT”. Namun kedua komitmen itu tidak dilakukan secara institusional, melainkan dampak dari proses pembentukan kader yang dilakukan oleh HMI. 

DINAMIKA SEJARAH PERJUANGAN HMI 
DALAM SEJARAH PERJUANGAN BANGSA 

HMI dalam Fase Perjuangan Fisik 

HMI ikut berjuang dalam perjuangan fisik ketika terjadi pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948. Pemberontakan tersebut bertujuan mengambil alih kekuasaan pemerintahan yang sah dan ingin mendirikan “Soviet Republik Indonesia”. Menghadapi hal tersebut, HMI menggalang seluruh kekuatan mahasiswa dengan membentuk Corps Mahasiswa. Selama waktu krisis tersebut anggota HMI terpaksa meninggalkan bangku kuliah untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pengkhianatan PKI, selain itu HMI pun terlibat dalam perjuangan fisik menghadapi agresi militer Belanda. 

Sebagai anak umat dan anak bangsa, HMI selalu ikut dalam perjuangan fisik demi mempertahankan negara Republik Indonesia. Dalam mempertahakan NKRI, anggota-anggota HMI mengganti pena dengan memanggul senjata, HMI merasa ikut bertanggung jawab dalam mempertahankan kedaulatan NKRI. HMI berkeyakinan bahwa dalam masyarakat yang berdaulat dan merdeka akan tercipta keadilan dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu HMI selalu berusaha untuk memperthankan dan mempersatukan bangsa. 

HMI dalam Fase Pertumbuhan dan Konsolidasi Bangsa 

Pasca Konferensi Meja Bundar (KMB) kedaulatan kembali ke tangan Pemerintah RI. Namun demikian bukan berarti semua persoalan selesai. Konflik-konflik internal antara berbagai kepentingan ideologi semakin memanas dan menghabiskan banyak energi dan korban jiwa. Tiga ideologi besar yang menjadi kompartemen utama bangsa Indonesia, yaitu : Islam, Nasionalisme dan Komunisme saling berebut kekuasaan untuk mendominasi pimpinan kabinet. Akibatnya situasi politik tidak pernah stabil dan sering terjadi gonta-ganti kabinet. Pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 adalah salah satu klimaks dari adanya pertarungan ideologi-ideologi tersebut. 

Bagi HMI sendiri, masa tahun awal 50-an, oleh Dahlan Ranuwiharjo, disebut sebagai masa disorganized (kekacauan organisasi). Diresmikanya Perguruan Gadjah Mada menjadi Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadikan beberapa perguruan tinggi yang berada di wilayah Yogyakarta dan beberapa kota lainnya diintegrasikan ke dalam UGM. Beberap diantaranya ialah Perguruan Kedokteran yang semula berada di Klaten,Solo dan Malang diintegrasikan menjadi Fakultas Kedokteran UGM, termasuk juga Akademi Pertanian di Klaten, kemudian menjadi Fakultas Pertanian UGM. 

Oleh penyatuan beberapa perguruan tinggi ini, sebagai konsekuensinya, HMI kehilangan beberapa cabang yang berada beberapa daerah tersebut. Kondisi kampus pun menjadi kurang kondusif untuk aktifitas pergerakan karena adakecenderungan mahasiswa kembali menggeluti dunia akademis (back to campus). Dunia akademis yang sebelumnya mengalami kevakuman karena ditinggalkan mahasiswanya turun ke medan perang melawan agresi militer Belanda, kini kembali marak oleh mahasiswa yang kembali lagi ke kampus dan menjalankan kuliah seperti biasanya.Sementara di sisi lain, sehubungan dengan kembalinya ibu kota negara ke Jakarta,personel PB HMI juga banyak yang pindah ke Jakarta. Beberapa pengurus PB HMI juga ada yang meneruskan kariernya di bidang militer, seperti A. Tirto Sudiro dan Hartono. 

Keadaan ini sangat mempengaruhi kinerja kepengurusan yang waktu itu dipimpin oleh oleh SH. Mintaredja. Akhirnya Lafran Pene dan beberapa pengurus lain seperti Dahlan Ranuwiharjo berusaha mengantisipasi keadaan ini dengan mengambil alih kepengurusan HMI. Beruntunglah, dengan cara ini, HMI masih bisa terselamatkan. Meskipun PB dalam keadan lemah, ekspansi cabang-cabang masih bisa berlangsung,Beberapa ekspansi cabang yang dilakukan diantaranya adalah pembentukan HMI Cabang Jakarta, Cabang Bogor, Cabang Bandung dan Cabang Surabaya. Di tingkat nasional, kepengurusan PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia –semacam KNPI-nya zaman itu) masih selalu dipegang kepemimpinanya oleh HMI. 

Pindahnya Ibu Kota kembali ke Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1950 menjadikan HMI juga harus segera memindah sekretariatnya ke ibu kota yang baru. Pada bulan Juni 1950, secara resmi sekretariat HMI pindah ke dari Yogyakarta ke Jakarta, waktu itu HMI diketuai oleh Lukman Hakim. Pada kepemimpinan Lukman hakim ini rupanya HMI masih juga belum bisa terlepas dari kondisi keterpurukanya. Kinerja organisasi lamban,manajemen organisasi tidak bagus, dan anggotanya banyak yang tidak terurusi. 

Dalam kongres HMI II di Yogyakarta (Desember 1950) diputuskan Dahlan Ranuwiharjo sebagai ketua Umum HMI yang ke-3. Dibawah kepemimpinannya HMI mulai melakukan pembenahan kembali dengan membuka cabang-cabang baru. HMI juga aktif melakukan penggalian kembali nilai-nilai ke-HMI-an dengan tetap aktif mengontrol negara dengan memberikan aktif memberikan kritik dan saran kepada Presiden Sukarno. Masa-masa periode kepengurusannya, Dahlan Ranuwiharjo adalah sebagian kecil tokoh HMI yang dikenal sangat dekat dengan Sukarno. Semakin kuatnya persaingan antar kekuatan-kekuatan arus politik untuk menguasai parlemen, mendorong mereka untuk melakukan perluasan pengaruh ditingkat bawah. Beberapa cara yang ditempuh diantaranya ialah dengan membentuk organisasi-organisasi baru untuk dijadikan sebagai underbouw -nya. Termasuk di tingkat dunia kemahasiswaan, pertai-partai besar seperti PNI dan PKI, pada tahun 1953-1954,membentuk organisasi-organisasi kemahasiswaan underbouw. Tersebutlah GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia) yang merupakan underbouw PNI dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang menjadi underbouw PKI. Dengan lahirnya organisasi mahasiswa underbouw partai tersebut, maka program-program organisasi mahasiswa tidak lagi lahir dari hasil pemikiran kritis mahasiswa yang Independen, akan tetapi lebih merupakan penerjamahan dari program-program partai induknya. 

Sebagai organisasi mahasiswa yang independen, HMI mendapatkan tantangan yang sangat besar. HMI adalah organisasi independen yang tidak dimaksudkan untuk menjadi senjata politik Masyumi atau suatu gabungan dari organisasi sosial atau pendidikan muslim apapun (Tanja, 1978). Akan tetapi sikap independen HMI ini tidak tersosialisasikan dengan baik ke organisasi lain. Dengan ciri Islam-nya, HMI sering dituduh sebagai alat kepentingan partai Islam seperti Masyumi. Bahkan tahun 1964 HMI nyaris dibubarkan karena tuduhan ini. HMI akhirnya masuk dalam pusaran konflik antar organisasi mahasiswa. 

Persaingan dalam memperebutkan kader baru dan dominasi di kampus tak jarang menimbulkan bentrokan fisik antar para pendukungnya. CGMI seringkali meneror anggota HMI dan melarang mereka aktif. CGMI bahkan melakukan gerakan-gerakan provokasi di kampus untuk membubarkan HMI. Demikian juga GMNI, sedikit banyak,organisasi ini turut serta dalam usaha-usaha mengganyag HMI. 

Bagi PKI, HMI merupakan musuh utama yang harus dilenyapkan setelah Masyumi. Sebab golongan agama, dalam doktrin komunis, adalah kelompok kontra revolusi isisnya adalah kaum borjuis kecil yang pro kapitalis-imperialis. PKI menuduh Masyumi (dan juga HMI) sebagai antek-anteknya Amerika yang berusaha menanamkanpengaruhnya di dunia ketiga untuk memenangkan perang dingin (Aidit 2001). Jika ingin menguasai Indonesia, tak ada jalan lain, selain yang pertama kali harus dihancurkan adalah kekuatan-kekuatan kaum beragama. Kaum nasionalis, meskipun juga menjadi penentang komunisme tidak cukup mempunyai kekuatan siginikan, karena merupakan produk ideologi lokal. 

NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis) diharapkan oleh Sukarno dapat menjadi pemersatu ketiga kekuatan ideologi besar yang berkompetisi menanamkan pengaruhnya dalam struktur negara. Ide tersebut ternyata hanya menjadi slogan yangsemakin melegitimasi kekuasaan Sukarno. Pada tahap berikutnya Nasakom menjadi alat bagi PKI untuk melakukan hegemoni politiknya tanpa mau mengakomodasi kekuatan-kekuatan lain. Sebenarnya ide ini cukup baik jika diikuti dengan itikad baik dan perimbangan kekuatan antara elemen-elemen penyusunya. Akan tetapi lemahnya kekuatan Nasionalis dan Islam secara kualitatif menjadi tidak seimbang dengan kekuatan dan ambisi komunis untuk mengusai kabinet. 

Kekukuhan HMI dalam membela Islam dan keterlibatanya dalam aksi pembasmian pemberontak PKI di Madiun tahun 1948 bersama militer cukup menjadi stimulus dendam mendalam bagi PKI. Oleh karena itu permusuhan HMI dengan PKI/CGMI semakin menjadi setelah Nasakom diberlakukn oleh Presiden Sukarno. HMIadalah organisasi yang menentang Nasakom. Tuduhan-tuduhan bahwa HMI merupakan underbouw-nya Masyumi, HMI terlibat dalam pemberontakan-pemberontakan Islam bersama Masyumi, HMI anti Pancasila, HMI menjadi antek Amerika dan sebagainya menjadi dalih bagi PKI untuk mengganyang HMI. 

Terhitung sejak tahun 1964 aksi-aksi mengganyangan HMI dengan berbagai tuduhan diatas mulai dilakukan oleh PKI. Koran koran, majalah, aksi massa, forum-forum ilmiah dan bahkan menggunakan institusi perguruan tiggi untuk melarang aktifitas HMI. Lebh dari 30 mass media dan 46 organisasi massa digunakan oleh PKI untuk melakukan usaha-usaha pembubaran HMI. Bentuk-bentuk aksi yang mengarah pada pengganyangan HMI. Beberapa aksi tersebut diantaranya adalah sebagai berikut : 


  1. Pelarangan HMI di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Cabang Jember padatanggal 12 Mei 1964 oleh sekretaris fakultas yang bernama Prof. Dr. Ernest UtrechtS.H. 
  2. Mengeluarkan HMI dari Dewan Mahasiswa/Senat Mahasiswa yang tertuang dalam instruksi Majlis Mahasiswa Indonesia (MMI) pada bulan Agustus 1964. Semenjak bulan itu, diberbagai perguruan tinggi seperti di Yogyakarta, Medan, Jakarta dan sebagainya, HMI dikeluarkan dari DEMA bahkn tidak diperkenankan untuk mengikuti pemilihan ketua. 
  3. HMI dikeluarkan dari keanggotanya di PPMI. Keberhasilan CGMI mendominansi PPMI menjadikanya hanya sebagai alat kepanjangan CGMI. HMI dikeluarkan dari keanggotaan PPMI secara sepihak. Protesyang dilakukan PMII mengnai keputusan itupun ditolak karena PKI telah menjadikanPPMI sebagai alat kepentinganya. 
  4. Memfitnah HMI dengan berbagai pamflet yang isinya antara lain memprovokasi massa agar mendukung pembubaran HMI. 
  5. Petisi Pembubaran HMI dengan memanfaatkan momen-momen rapat akbar seperti peringatan 17 agustus 1945 untuk mengluarkan statemen-statemen yang berisi pembubarn HMI. 
  6. Penyingkiran anggota HMI dari jabatan-jabatan strategis di kampus. Di beberapa perguruan tinggi, dosen-dosen yang berasal dari HMI tidak pernah diberikesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan tinggi oleh pengurus fakultas yang telah di dominasi PKI. 

Beruntunglah hampir semua ormas Islam yang ada waktu itu secara gigih melakukan pembelaan terhadap HMI. Sehingga Sukarno, yang semula hampir-hampir saja membuat surat keputusan pembubaran HMI, membatalkan rencananya dan HMIbisa bertahan sampai sekarang. 

Pada tahun 1952, Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam mulai mengalami perpecahan. Perpecahan itu dimulai dengan keluarnya NU dari Masyumi. Kekecewaan golongan NU atas komposisi kepemimpinan di Masyumi yang dirasa tidak adil menyebabkan NU keluar dan mendirikan partai sendiri. NU merupakan konstituen terbesar Masyumi, sehingga dengan keluarnya NU dari Masyumi sangat mempengaruhi nasib Masyumi selanjutnya. Beberapa waktu kemudian beberapa elemen lain seperti Perti dan PSII juga ikut keluar. Selanjutnya Masyumi praktis hanya diisi oleh Muhammadiyah dan Persis (keduanya cenderung modernis dan puritan). 

Pada masa kepemimpinan M. Natsir kebijakan-kebijakan Masyumi banyak diarahkan kepada gerakan-gerakan ke arah formalisasi Islam dalam struktur negara.Contoh kongkritnya ialah Ketika Masyumi memperjuangkan negara Islam dalam sidangkonstituante 1955. Keadaan ini menjadikan program-program yang berorientasi padasosial dan kultural banyak terabaikan. Beberapa organisasi pendukung yang berasal darikaum tradisionalis akhirnya melakukan protes yang berujung pada perpecahan itu. Akantetapi hal ini bisa dipahami, mengingat saat itu Masyumi berhadap secara frontaldengan gerakan-gerakan marxis-sosialis (PKI) yang cenderung anti agama. Masyumidibubarkan oleh Presiden Sukarno pada tahun 1960. 

HMI dalam Transisi Orde Lama dan Orde Baru 

Kondisi negara yang kian terpuruk dengan ditandai oleh tingginya inflasi,mendorong HMI kembali mengambil inisiatif melakukan aksi-aksi protes terhadap pemerintah. Hegemoni PKI dalam kabinet yang kian kuat juga mendorong HMI bersama elemen-elemen Islam lainya berusaha untuk melakukan kritik kepada Presiden Sukarno melalui gerakan massa. Ditingkat organisasi mahasiswa PKI juga sudah semakin menghegemoni. PPMI yang pada awalnya merupakan independen akhirnya dikuasai oleh CGMI (PKI), termasuk juga MMI dan Front Pemuda. Dengan demikian nyaris tak ada lagi organisasi mahasiswa yang bisa kritis terhadap kekuasaan. 

PKI ada tanggal 30 September 1965 melakukan penculikan terhadap para petinggi Angkatan Darat yang terkenal dengan sebutan G 30 S/PKI. Peristiwa berdarah ini menjadi momen awal bagi masifnya gerakan-gerakan anti PKI oleh militer dan mahasiswa. Atas inisiatif Mar’ie Muhammad (wakil ketua HMI), mahasiswa membentuk organisasi bersama bernama KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). KAMI berdiripada tanggal 25 Oktober 1965 di Jakarta, tepatnya di Rumah salah satu menteri kabinetnya Sukarno bernama Syarif Thayib. 

Aksi pertama KAMI adalah rapat umum yang diselenggarakan di Fakultas Kedoteran Umum UI, Salemba, dengan tuntutan pembubaran beberapa organisasi yang menjadi underbouw PKI seperti CGMI, PERHIMI, HIS dan Akademi PKI. Seiring kuatnya tuntutan terhadap pembubaran PKI, KAMI kemudian menjadi satu-satunya lembaga aksi yang mewadahi seluruh mahasiswa Indonesia dengan tanpa membedakan agama dangolongan. Aksi-aksi Kami bisa melibatkan massa yang sangat banyak dan spontan karena mendapat dukungan dari seluruh mahasiswa Indonesi. Selain itu, dukungan dari TNIA ngkatan Darat juga turut memperkuat mental para anggota KAMI. 

Puncak aksi KAMI adalah Ketika mengumandangkan Tritura (tiga tuntutanrakyat) bersama elemen-elemen aksi lain seperti KAPI, KAGI, KASI dan sebagainya dihalaman fakultas kedokteran UI, pada tanggal 10 januari 1966. Adapaun isi Tritura adalah : 

  • Bubarkan PKI 
  • Retooling kabinet 
  • Turunkan harga 

Sukarno menanggapi aksi-aski tersebut dengan menyatakan sebagai aksi yang kontra revolusioner. Ia malah membentuk kabinet baru yang beranggotakan beberapa orang yang disinyalir sebagai simpatisan PKI. Hal ini semakin menimbulkan kemarahan mahasiswa dan rakyat. KAMI meneruskan aksi-aksi dengan melibatkan lebih banyak massa. Pada tanggal 24 Januari 1966, saat pelantikan Kabinet Dwikora, KAMI melakukan aksinya lagi keluar kampus dengan melakukan pemboikotan jalan yang akan dilalui paracalon menteri untuk pelantikan. Dalam aksi itulah terjadi bentrok antara mahasiswa dengan pasukan Cakrabirawa. Dua pahlawan Ampera yaitu Arif Rahman Hakim dan Zubaidah tewas tertembus peluru. Sehari setelah penguburan jenazah Pahlawan Ampera tersebut, Sukarno mengumumkan pembubaran KAMI. 

Dengan pembubaran ini bukan berarti perjuangan berhenti, KAPPI yang dikomandani oleh M. Husni Thamrin mengambil alih posisi KAMI sebagai organisator massa. Sementara beberapa pimpinan KAMI seperti Cosmas Batubara (PMKRI), Zamroni (PMII) dan David Napitupulu diculik oleh orang tak dikenal, beberapa anggota KAMI yang lain tetapi berjuang dengan membentuk laskar-laskar Ampera di tiap daerah.Laskar-laskar inilah yang mengorganisir massa sehingga gaung Tritura sampai ke daerah-daerah. Aksi pun berkembang sampai wilayah-wilayah propinsi. Bahkan aksi-aksi di Yogyakarta, Makasar dan lainya lebih heroik dan memakan lebih banyak korban jiwa. 

Keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) menandai lahirnya Orde Baru pimpinan Suharto. Ia diangkat menjadi pejabat presiden pada tahun 1967 oleh MPRS dan akhirnya dikukuhkan sebagai presiden definitif pada tahun 1969. Pasca kejatuhannya, Sukarno hidup sakit-sakitan isolasi oleh rezim Orde Baru sampai akhirnya wafat tahun 1972. 

HMI dalam Fase Pembangunan dan Modernisasi Bangsa 

Berdasarkan tujuan HMI, maka kader HMI harus memiliki kualitas insan cita, yang karenanya akan tercipta kader yang memiliki intelektual tinggi yang dilandasi oleh iman serta diabdikan kepada umat dan bangsa. Pengabdian para kader ini akan dapat dijadikan penopang dalam pembangunan bangsa dan negara Republik Indonesia. Peran HMI dalam pembangunan bangsa dapat dijabarkan sebagai berikut : 

  1. Partisipasi dalam pembentukan situasi dan iklim 
  2. Partisipasi dalam pemberian konsep 
  3. Partisipasi dalam bentuk pelaksanaan 

Dalam menjalani peran tersebut, banyak halangan dan rintangan yang justru sebenarnya lebih dominan faktor internal, misalnya pergeseran nilai yang berdampak pada hilangnya ruh perjuangan HMI. Selain itu faktor eksternal memaksa HMI untuk terbawa pusaran kekuasaan, misal masalah asas tunggal yang mengakibatkan perpecahan HMI menjadi dua yaitu HMI yang bermarkas di Diponegoro dan HMI yang menamakan dirinya Majelis Penyelamat Organisasi. 

HMI dan Fase Pasca Orde Baru 

Tahun 80-an dikenal sebagai masa pertumbuhan bagi gerakan-gerakan Islamisasi kampus. Bibit-bibit semangat “kembali keIslam” yang disemai pada akhir tahun 70-an kuncup-kuncupnya mulai tumbuh. Kelompok-kelompok pengajian kampus (halaqoh) semakin ngetrend dan bulan Ramadhan menjadi selalu ramai. Meskipun sebenarnya terdiri dari berbagai aliran, akan tetapi mereka mempunyai kesamaan isu, yaitu kebangkitan Islam. Harapan akan kebangkitan Islam di Asia Tenggara ternyata cukup memberikan visi dan ruh yang menghidupkan semangat para da’i kampus untuk terus mengobarkan semangat Islam. 

Bagi Orde Baru, hal ini merupakan pertanda buruk, karena akan menjadi ancaman bagi keberlangsungan kekuasaanya. Beberapa kasus di negara lain radikalisme kaum beragama bisa menciptakan revolusi yang bisa menumbangkan kekuasaan.Ancaman terbesar bagi Orde Baru setelah hancurnya komunisme adalah kelompok beragama ini. Penolakan Suharto atas keinginan Muhammad Roem menghidupkan kembali Masyumi merupakan bukti ketakutanya pada kekuatan kaum beragama. 

Bentuk antisipasi yang dilakukan Orde Baru untuk mengontrol kehidupan kebangsanya ialah dengan rencana dikeluarkanya Undang-undang Keormasan No. 8 tahun 1985. Dalam rancangan UU ini disebutkan adanya kewajiban bagi tiap organisasi massa untuk memakai Pancasila sebagai asasnya. Hal ini jelas bertentangan dengan semangat kebhinnekaan yang menjadi ruh Pancasila itu sendiri. Penyeragaman asas dalam tiap AD/ART adalah bentuk kontrol yang sangat kuat dari negara terhadap warganegaranya yang berati pula hilangnya kebebasan warga negara untuk berbeda. Oleh karena itu muncul banyak kritik dalam pemunculan paket UU ini (baca bukunya Deliar Noor berjudul “Islam, Pancasila dan Asas Tunggal”). 

Meskipun demikian, kuatnya hegemoni kekuasan Orde Baru, menjadikan organisasi-organisasi massa yang ada seperti Muhammadiyah, NU, GMNI, PMKRI, GMKI,PMII, IMM dan sebagainya tidak bisa berbuat banyak. Berbondong-bondong organisasi-organisasi tersebut mengubah AD/ART-nya menjadi berasaskan Pancasila. Bebera alasan yang dikemukan oleh organisasi yang mengubah asasnya tersebut rata-rata ialah untuk mencari keamanan. Dari sini dapat kita rasakan betapa kuat dan ditakutinya kekuasaan Orde Baru saat itu. 

Dukungan militer dalam mengamankan kekuasaan negara yang sangat kuat seringkali menimbulkan tindakan-tindakan represif dan anarkis oleh negara terhadap warga negara. Sehingga kepatuhan warga negara terhdap pemerintah bukan karena disebabkan oleh semangat dan komitmen kebangsaan akan tetapi lebih dikeranakan oleh adanya ketakutan-ketakutan terhadap aparat. 

HMI sebagi organisasi mahasiswa terbesar dan berpengaruh saat itu jelas akan menjadi sasaran selanjutnya bagi proyek “Pancasilaisasi” ini. Anggota HMI yang banyak dan tersebar diseluruh pelosok nusantara merupakan aset bangsa yang tidak bisa diabaikan. Pemerintah berkeinginan menjadikan HMI sebagai pelopor yang akan mendukung pelaksanaan UU tersebut. Sewaktu pengumuman akan diterapkanya UU keormasan tersebut, HMI belum menyatakan kesediaanya untuk mengikuti keinginan pemerintah. 

Maka disusunlah strategi oleh pemerintah untuk membujuk beberapa fungsionaris HMI agar bersedia memakaikan Asas Tunggal. Dikirimlah beberapa alumni HMI yang sudah duduk dalam kabinet untuk mendekati HMI. Jawaban pengurus HMI ialah agar semuanya diserahkan pada hasil kongres yang akan diselenggarakan di Medan tahun 1983. Dalam kongres tersebut pemerintah mengutus Abdul Gafur (menteri Pemuda dan Olah raga, yang juga alumni HMI) untuk membujuk peserta agar bersedia mengubah asas. Abdul Gafur bahkan mengancam akan melarang kongres tersebut, jika HMI menolak merubah asas. 

Pada akhir Mei 1983 diadakanlah kongres HMI XV di Medan. Kongres ini dinamakan kongres perjuangan, karena diselenggarakan dalam tekanan yang kuat daripemerintah untuk merubah asas. Dalam majalah Tempo edisi 4 Juni 1983 dilukiskansuasana kongres sebagai berikut : “….Ketika sampai pada Anggaran Dasar pasal 4, bahwa asas HMI tetap Islam teriak Allahu Akbar gemuruh menyambutnya…..”. HMI secara tegas menolak menggunakan Asas Tunggal Pancasila dalam AD/ART-nya dan masih setia mempertahankan asas Islam. 

Dalam kongres itu terpilih Hary Azhar Azis sebagai ketua umum HMI, yang akan bertugas mengemban amanat ini. Kegagalan Abdul Gafur untuk membujuk adik-adiknya ini tidak membuat pemerintah menghentikan usaha-usahanya. Pemerintah terus berusaha untuk membujuk HMI dengan melakukan pendekatan-pendekatan persuasif kepada pengurus HMI hasil kiongres. Usaha-usaha tersebut berhasil ketika pada saat sidang Majelis Pekerja Kongres (MPK) II dan rapat pleno PB HMI tanggal 1-7 April, di Ciloto-Puncak-Bogor, PB HMI bersedia mengubah asas Islam dengan asas Pancasila.Keputusan ini diumumkan di media massa seminggu kemudian dengan menggunakan rumah Bp. Larfan Pane sebagai tempatnya. 

Reaksi keraspun mengalir dari cabang-cabang di daerah. Cabang Yogyakarta sebagai cabang embrionya HMI, melakukan protes keras terhadap keputusan tersebut. Cabang Yogyakarta mengeluarkan pernyataan sikap dengan judul : “Sikap jama’ah HMI Yogyakarta terhadap perilaku dan siaran pers PB HMI”. Dalam pernyataan sikap tersebut secara tegas Yogyakarta menolak keputusan PB dan menganggapnya inkonstitusional. Seharusnya keputusan perubahan AD/ART adalah wewenang kongres HMI, bukan pengurus besar (PB). Cara pengambilan keputusanyapun dianggap cacat karena tidak memenuhi kuorum. Dalam sidang MPK tersebut 19 orang melakukan walk out

PB HMI malah menanggapi sikap cabang Yogyakarta ini dengan kurang arif. PB HMI tidak bersedia melantik M. Chaeron A.R. yang secara aklamasi terpilih sebagai Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta. Akhirnya pelantikan dilakukan oleh HMI Badko Jawa Bagian Tengah yang juga bersikap menolak terhadap keputusan PB HMI. Penolakan ini tertuang dalam sidang pleno HMI Badko Jawa bagian tengah pada tanggal 29-30 Oktober 1985 di Yogyakarta. Atas sikap ini PB HMI kemudian mamecat ketua Badko (Yati Rachmiati) dari pengurusannya. 

Protes terhadap keputusan PB HMI ini bukan hanya berlangsung di Yogyakarta. Cabang Jakarta, di mana Harry Azhar Azis, secara adminstratif terdaftar sebagai anggota HMI, membuat keputusan dengan memecat Harry Azhar Azis dari keanggotaan HMI. Secara konstitusional pemecatan ini sah, karena (dalam aturan administrasi HMI) meskipun keduduknya sebagai Ketua Umum PB HMI, akan tetapi kartu anggota dikeluarkan oleh pengurus cabang. Pemecatan ini menimbulkan kemarahan PB HMI,atas nama Ketua Umum PB HMI ia kemudian membekukan HMI cabang Jakarta daristruktur keorganisasian HMI. Sebagai gantinya PB HMI membentuk cabang-cabang transitif yang pengurusnya dipilih oleh PB HMI. 

Menjelang diselenggarakannya kongres XVI di Padang, Summatera barat, HMIAdapun kongres XVI pasti akan dijadikan forum untuk melegitimasi perubahan asas tersebut oleh PB HMI. Dengan demikian takkan ada lagi alasan bagi cabang-cabang untuk menolak perubahan asas dalam AD-ART HMI. Demi mengantisipasi hal ini, maka cabang-cabang yang menolak keputusan PB tersebut membentuk forum yang bernama Majlis Penyelamat Organisasi (MPO). Pada mulanya forum tesebut dibentuk untukberdialog dengan PB HMI dan MPK (Majelsi Pekerja Kongres) mengenai perubahan asas dalam kongres yang derencanakan. Akan tetapi karena tanggapan PB HMI terkesan meremehkan, maka akhirnya MPO melakukan demonstrasi di kantor PB HMI (Jl. Diponegoro 16, Jakarta). Dalam demonstrasi tersebut PB HMI malah menanggapinyadengan mengundang kekuatan militer untuk menghalau MPO. Beberapa anggota MPO malah ditangkap oleh aparat dengan tuduhan subversif. Keadaan ini berlangsung sampai diselenggarakanya kongres HMI XVI di Padang yang berlangsung pada tanggal 24-31 Meret 1986. 

Dengan diwarnai kekacauan karena adanya dua kubu yang saling bertentangan,maka kongres XVI di Medan menjadi tonggak sejarah bagi pecahnya HMI menjadi duabagian, HMI Dipo dan HMI MPO. Kehadiran MPO, yang telah berhasil mengorganisir 9 cabangcabang terbesar di HMI, ditolak oleh panitia kongres. Kongres hanya diikuti olehcabang-cabang yang tidak terlibat dalam MPO dan cabang transitif. Kehadiran cabang transitif ini mendapat tantangan keras dari peserta kongres sehinga menimbulkan kekacauan fisik dalam ruangan sidang. Adapun 9 cabang yang mendukung MPO adalah: HMI Cabang Jakarta, HMI Cabang Bandung, HMI Cabang Yogyakarta, HMI Cabang Ujung Pandang, HMI Cabang Pekalongan, HMI Cabang Metro, HMI Cabang Tanjung Karang, HMI Cabang Pinrang dan HMI Cabang Purwokerto. 

HMI hasil kongres XVI di Padang merupakan HMI yang diakui secara sah olehpemerintah. HMI ini sekretaraitnya di Jl. Diponegoro 16, sehingga sering disebut HMI Dipo. Atau bisa juga disebut HMI Pancasila karena asasnya Pancasila, atau di mass media biasa disebut dengan menggunakan huruf “HMI” saja. Pasca reformasi, dalam kongresnya yang ke-22 di Aceh, pada tahun 1999, HMI ini merubah kembali asas keIslam. Sehingga sekarang dari segi asas, sudah tidak ada bedanya antara HMI Dipodengan dengan HMI MPO. Namun demikian, proses penjang lebih dari 20 tahun menjadi dua institusi yang sendiri-sendiri menjadikan struktur, perkaderan, tradisi dan sikap politik kaduanya berbeda. Tradisi kooperatifnya dengan Golkar dan kedekatanya dengan kebanyakan alumni (KAHMI) menjadikan HMI Dipo lebih mapan secara finansial dan rapi dalam keorganisasian. Sementara HMI-MPO identik dengan tradisi proletarian,komunitas eksklusif, dan tidak mapan dalam organisasi. 

HMI MPO terlahir sebagai sosok anak haram dalam gua garba Orde Baru.Ditengah situasi kehidupan kebangsan dihegemoni militer, dalam suasana kebungkaman warga negara serta diliputi ketakutan untuk berbeda, HMI MPO hadir sebagai “pendekar muda” yang berani berteriak lantang menentang kekuasaan. HMI MPO-lah organisasi Islam pertama yang menuntut Suharto harus turun. HMI MPO harus berjuang dibawah tanah demi mempertahankan idealisme dan eksistensinya yang semakin lama-semakin ditinggalkan cabang-cabang pendukungnya. Aparat selalu mengawasi training-traning yang dilakukan oleh HMI dengan mengirimkan intelnya. Penyelenggaraan LK I tak jarang gagal karena tiba-tiba digrebek aparat dan pesertanya diintrogasi. Pada tahun 1987, di Yogyakarta terjadi penggrebekan terhadap sekretariat HMI cabang Yogyakarta, di Jl.Dagen 16. Pengurus yang waktu itu sedang berada di lokasi lari tungang-langgang mencari perlindungan bersamaan dikokangnya senjata oleh tentara. 

Pecahnya HMI menjadi HMI MPO dan HMI DIPO adalah bagian dari dinamika sejarah yang tidak harus disesali. Manusia hanya bisa melakukan penilaian sehingga dapat mengambil pelajaran darinya. Bagi kader-kader baru, yang dibutuhkan bukanlahromantisme sejarah masa lalu, akan tetapi warisan semangat perjuangan danindepenndensi untuk berbuat yang terbaik bagi kemanusiaan. 

HMI Pasca Reformasi 

Secara histories sejak tahun 1995 HMI mulai melaksanakan gerakan reformasi dengan menyampaikan pandangan, gagasan dan kritik terhadap pemerintahan. Sesuai dengan kebijakan PB HMI bahwa HMI tidak akan melakukan tindakan-tindakan inkonstitusional dan konfrontatif. Gerakan koreksi pemerintahan pertama disampaikan pada jaman konggres XX HMI di Istana Negara tanggal 21 Januari 1995. kemudian peringatan MILAD HMI Ke 50 Saudara Ketua Umum Taufiq Hidayat menegaskan dan menjawab kritik-kritik yang menyebutkan bahwa HMI terlalu dekat dengan kekuasaan. Bagi HMI kekuasaan bukanlah wilayah yang haram. Tetapi adalah wilayah pencermatan dan kekritisan terhadap pemerintahan. Kemudian dalam penyampaian Anas Urbaningrun pada MILAD HMI ke 51 di Graha Insan Cita Depok tanggal 22 Pebruari 1998 dengan judul “Urgensi Reformasi bagi Pembangunan Bangsa Yang Bermartabat”. 

Pasca reformasi keadaan tidak jauh berbeda, meski secara kuantitas anggota HMI bertambah namun secara kualitas kader HMI saat ini belum teruji secara nyata peranannya di kehidupan umat, berbangsa dan bernegara. HMI bisa dikatakan organisasi yang tidak menarik lagi untuk mahasiswa mengembangkan diri di kampus bahkan yang lebih ironis HMI hanya dianggap sebagai batu loncatan untuk karier politik mahasiswa sebelum terjun ke dunia politik selanjutnya. Belum lagi jika dikaitkan dengan perilaku alumni HMI yang terjerat kasus korupsi di berbagai daerah, meski tidak bisa memukul rata bahwa ini akibat berproses di HMI namun ini menjadikan HMI mempunyai “beban sejarah” yang harus diselesaikan dengan segera. 

Daftar Pustaka 

Al-Mandari, S. 1999. HMI dan Wacana Revolusi Sosial. Pusat Studi Paradigma Ilmu (PSPI). Ujung Pandang 

Aidit, D. N., dkk. 2001. PKI Korban Perang Dingin (Sejarah Peristiwa Madiun 1948). EraPublisher. Jakarta 

Barton, G. 1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Paramadina. Jakarta. 

Dahlan, M. M. 1999. Sosialisme Religius. Penerbit Kreasi Wacana. Yogyakarta 

Grant, T. dan Woods, A. 2001. Melawan Imperialisme. Penerbit Sumbu. Jakarta 

Halim, Z. 1990. HMI, Nasakom dan Pasca Gestapu. Makalah dalam buku putih “Dinamika Sejarah HMI”. HMI Badko Jawa Bagian Tengah. Yogyakarta 

Hehamahua, A. 1985. HMI Membunuh Diri Sendiri. Surat Abdullah Hehamahua pada PBHMI. Jakarta 

Pratiknya, A. W. Pesan Perjuangan Seorang Bapak. Penerbit Dewan dakwah Islamiyah Indonesia dan Lembaga Laboratorium. Jakarta 

Ranuwiharjo, D. 1996. Catatan : Dahlan Ranuwiharjo, S.H. pada dies natalis HMI ke-43.Diterbitkan oleh PB HMI. Jakarta. 

Roem, M. 1972. Bunga Rampai dari Sedjarah. Penerbit Bulan Bintang. Djakarta. 

Sitompul, A. 1976. Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam tahun 1947-1975. Penerbit Bina Ilmu Offset. Surabaya. 

Suharsono. 1998. HMI MPO dan Rekonstruksi Pemikiran Masa Depan. CIIS Press.Yogyakarta 

Sundhaussen, U. 1986. Polilti Militer Indonesia 1945-1967. LP3ES. Jakarta 

Tanja, V. 1978. HMI, Sejarah dan Kedudukanya di Tengah Gerakan-gerakan Muslim Pembaharu di Indonesia. Penerbit ‘sh’. Jakarta 

Tuhuleley, S. 1990. HMI di Mata Seorang Praktisi (Mahasiswa) 77-78: Sebuah UpayaPermakluman. Makalah dalam buku putih: “Dinamika Sejarah HMI”. HMI Badko Jawa Bagian Tengah. Yogyakarta 

Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Bentang.Yogyakarta.