Selasa, 07 Juni 2016

PETANI DAN KEDAULATAN PANGAN



PETANI DAN KEDAULATAN PANGAN 
Oleh: NA





Indonesia merupakan negara yang agraris disebabkan sebagian dari penduduknya memiliki pencaharian dibidang pertanian. Sebenarnya negara ini diuntungkan karena dikaruniai kondisi alam yang mendukung, hamparan lahan yang luas, keragaman hayati yang melimpah, serta beriklim tropis dimana sinar matahari terjadi sepanjang tahun sehingga bisa menanam sepanjang tahun. Realita sumberdaya alam seperti ini sewajarnya mampu membangkitkan Indonesia menjadi negara makmur, tercukupi kebutuhan pangan seluruh warganya. Meskipu belum terpenuhi, pertanian menjadi salah satu sektor riil yang memiliki peran sangat nyata dalam mambantu penghasilan suatu negara.
Namun pada saat ini lahan-lahan yang diusahakan untuk lahan pertanian mulai berkurang. Di berbagai daerah di Indonesia setiap tahunnya terjadi konversi lahan pertanian menjadi lahan pemukiman, perindustrian, perkebunan, dan lain-lain. Sementara pemerintah ingin mewujudkan swasembada pangan sehingga tidak terjadi import terus-menerus.
Di tingkat nasional perjuangan kedaulatan pangan pun mulai semakin masif. Pendidikan di tingkat organisasi tani menjadi hal yang signifikan untuk memperkuat perjuangan kedaulatan pangan ini. Hal ini penting untuk memperkuat tekanan rakyat dalam perubahan kebijakan pangan dan pertanian di tingkat nasional hingga daerah.
Masalah kedaulatan pangan di Indonesia disebabkan oleh tidakadanya keberlanjutan serta perbedaan dari setiap kebijakan pangan yang dibuat dari setiap periode pemerintahan, sehingga kebijakan pangan yang belum terselesaikan belum mencapai tujuan sudah tergantikan oleh kebijakan yang baru yang memiliki perbedaan.
Kedaulatan pangan akan tercapai apabila petani sebagai penghasil pangan memiliki, menguasai dan mengkontrol alat-alat produksi pangan seperti tanah, air, benih dan teknologi serta berbagai kebijakan yang mendukungnya dalam bingkai pelaksanaan pembaruan agraria. Hal ini perlu disertai dengan melaksanakan pertanian rakyat yang berkelanjutan bukan saja untuk memperbaiki kualitas tanah, lingkungan dan produksi yang aman bagi kesehatan manusia. Program tersebut hendaknya dijalankan dengan sungguh-sungguh sembagai upaya untuk melepas ketergantungan terhadap perusahaan-perusahaan transnasional penghasil input pertanian.
Strategi yang dapat ditempuh untuk mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan adalah pendekatan produksi dan konsumsi pangan yang terintegrasi dengan pembangunan perdesaan terpadu. Sistem produksi yang ditopang oleh industri pertanian di perdesaan akan meningkatkan nilai tambah produk pertanian. Selain itu, industri pertanian juga menciptakan lapangan kerja sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani dan keluarganya.
Untuk meningkatkan produksi pangan, Indonesia perlu: (1) memanfaatkan secara optimal sumber-sumber pertumbuhan produksi dengan menerapkan teknologi tepat guna, tanpa mengabaikan kearifan lokal dan kelestarian lingkungan; (2) memanfaatkan keragaman sumber daya hayati dan agroekosistem dengan perwilayahan komoditas serta aneka pangan lokal; (3) memanfaatkan sumber daya lokal secara in-situ untuk mengurangi penggunaan sumber daya eksternal; (4) melakukan konsolidasi manajemen usaha tani bagi petani kecil dalam suatu korporasi atau asosiasi; (5) membangun kemitraan yang saling menguntungkan antara petani skala kecil dan perusahaan industri pertanian; (6) merealisasikan program lahan pertanian abadi 15 juta ha disertai dengan reforma agraria; dan (7) menerapkan kebijakan penyediaan kredit lunak dengan administrasi sederhana. Sumber-sumber pertumbuhan produksi meliputi: (1) pengurangan senjang hasil; (2) peningkatan IP; (3) perluasan lahan (ekstensifikasi); (4) pengurangan kehilangan hasil pada saat panen dan pascapanen; dan (5) peningkatan stabilitas hasil.
Dari sisi konsumsi, dua hal penting yang harus dibangun adalah menurunkan pertumbuhan penduduk melalui revitalisasi keluarga berencana (KB) dan promosi diversifikasi pangan. Promosi KB perlu diintensifkan, misalnya dengan memberi penghargaan kepada peserta KB. Promosi diversifikasi pangan juga harus ditingkatkan, antara lain melalui pengolahan bahan pangan lokal untuk mengangkat derajatnya. Juga promosi produk pangan olahan nonberas di kalangan masyarakat menengah ke atas melalui berbagai media dengan melibatkan tokoh publik. Promosi kebiasaan makan pangan lokal oleh tokoh publik cenderung ditiru oleh masyarakat, terutama generasi muda.
Untuk menerapkan strategi tersebut diperlukan berbagai kebijakan operasional, antara lain: (1) meningkatkan produksi melalui pemanfaatan secara optimal sumber pertumbuhan produksi; (2) memanfaatkan keragaman sumber daya hayati dan agroekosistem untuk memproduksi berbagai komoditas unggulan daerah; (3) mengurangi ketergantungan pada sumber daya eksternal; (4) membangun sistem pertanian korporasi dan kemitraan petani dengan perusahaan industri pertanian; (5) menekan konsumsi beras melalui program KB dan diversifikasi pangan; (6) memberi perlindungan kepada petani melalui kredit lunak, subsidi input, dan kebijakan harga.
Untuk itu, kedaulatan pangan dapat tercapai apabila petani sebagai produsen, masyarakat sebagai konsumen dan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dapat bersinergi dengan baik. Dengan demikian tidak mustahil bagi Indonesia untuk mencapai kedaulatan pangan, bahkan tidak hanya pada kedaulatan pangan, tetapi Indonesia pun dapat bersaing dengan warga asing dalam bidang pertanian.

Jumat, 13 Mei 2016

KUANTITAS KADER DAN KUALITAS KADER



KUANTITAS KADER ATAU KUALITAS KADER (1)
Oleh:
FITRA RIZKI AGHITA PURBA*
Berbicara tentang kader HMI, maka tidak akan pernah ada habisnya untuk membicarakan tentang kualiatas dan kuantitas (jumlah) dari kadernya. Pertanyaan pentingnya adalah mana yang lebih penting, kuantitas atau kualitas kader. Mana yang harus dimiliki terlebih dahulu oleh organisasi mahasiswa tertua di Indonesia ini? Topik ini sudah lama diperbincangkan oleh kader – kader HMI dimanapun, baik itu ketika sedang dalam diskusi biasa atau sharing dengan senioren / alumni HMI – Kegiatan Non Formal – dan kegiatan training HMI – Kegiatan Formal.
Masalah kuantitas dan kualitas ini bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, bila kita pisahkan kedua sisi tersebut, maka uang itu hanyalah sebuah kertas biasa yang tak bernilai apapun. Begitu pula dengan masalah kuantitas dan kualitas ini. Kita ketahui bersama bahwa kuantitas akan mempengaruhi kualitas, atau dengan kata yang lebih familiar lagi adalah kuantitas berbanding lurus dengan kualitas, begitu pula sebaliknya.
Menurut AS Hornby (dalam kamusnya Oxford Advanced Learner’s Dictionary) dikatakan bahwa “ Cadre is a small group of people who are specially chosen and trained for a particular purpose,” atau “ Cadre is a member of this kind group; they were to became the cadres of the new community party”. Jadi, pengertian kader adalah “sekelompok orang yang terorganisir secara terus menerus dan akan menjadi tulang punggung bagi kelompok yang lebih besar. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kader adalah orang yang diharapkan memegang peranan penting dalam suatu pemerintahan. Dari kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kader adalah orang yang akan menjadi tulang punggung dalam suatu organisasi dan mampu untuk diberikan amanah (tanggung jawab) sebagai pemimpin bagi dirinya sendiri dan orang lain.
Untuk menjadi seorang – kader – yang mampu menjadi tulang punggung suatu organisasi dan mampu untuk mengemban amanah sebagai seorang pemimpin, maka seorang kader HMI haruslah beraktifitas di HMI dan diluar HMI (akademis). Ketika beraktifitas di HMI seorang kader itu akan terbentuk dalam organisasi – mengenal aturan-aturan dalam organisasi dan tidak bekerja sendiri sesuai dengan selera pribadinya. Bagi HMI, aturan-aturan itu adalah segi nilai dari nilai-nilai dasar perjuangan (NDP) dalam pemahaman memaknai perjuangan sebagai alat untuk mentransormasikan nilai-nilai ke-islaman dan mampu untuk mengemban misi ke-umatan, yaitu berpihak kepada kaum yang tertindas – Mustadhafin – sedangkan dari segi operasionaliasasi organisasi adalah AD/ ART HMI, pedoman pokok organisasi dan ketentuan lainnya
Selanjutnya seorang kader itu harus memiliki komitmen yang terus-menerus (kontinu), tidak mengenal semangat yang musiman, tapi utuh dan istiqomah (konsisten) dalam memerjuangkan dan melaksanakan kebenaran. Seorang kader juga harus memiliki bobot dan kualitas sebagai tulang punggung atau kerangka yang mampu menyangga kesatuan komunitas manusia yang lebih besar. Selain itu, seorang kader harus memiliki visi dan perhatian yang serius dalam merespon dinamika sosial dilingkungannya dan mampu melakukan kontrol terhadap perubahan sosial. Hal tersebut dapat ditempuh dengan aktif dalam bidang akademis, sehingga seorang kader memiliki prestasi akademik, mampu menguasai latar belakang ilmunya untuk diaplikasikan kepada lingkungannya serta mampu untuk menjadi duta kampus. Dengan begitu seorang kader Insya Allah akan mempu untuk menjadi tulang punggung untuk komunitas yang lebih besar lagi.
Diatas sudah dikatakan bahwa kuantitas akan berbanding lurus dengan kualitas, atau dengan kata lain, kuantitas akan mendukung pencapaian kualitas. Dengan semakin banyaknya jumlah anggota dari suatu orgnanisasi khusunya HMI, maka akan semakin mudah pula dalam menemukan dan menciptakan kader yang berkualitas. (Dalam ilmu statistik disebutkan bahwa semakin banyak variasi yang ada dalam suatu kurva maka- ilmu pemuliaan).
Dalam pedoman perkaderan HMI, HMI sangat menekankan tentang kualitas kepada outputnya – Kadernya – oleh karena itu disusunlah jenjang perkaderan HMI yang sudah memiliki tujuan dari setiap jenjang tersebut untuk meningkatkan akan kualitas kadernya. Untuk meningkatkan kualitas dirinya, maka seorang kader harus mau dan mampu untuk mengikuti segala jenjang training yang ada di HMI, baik itu formal ataupun non formal. Dengan menyelesaikan studinya di HMI, diharapkan seorang kader mampu untuk mentrasformasikan nilai-nilai yang ada pada dirinya – kualitas – kepada lingkungan disekitarnya. Sehingga dengan cara tersebut, masyarakat – mahasiswa, pelajar, orang tua – dapat melihat dan merasakan kualitas diri dari seorang kader dan mau untuk mengkuti jejaknya untuk berHMI.
Jadi dapat disimpulkan bahwa HMI harus meningkatkan kuantitas kadernya lalu setelah itu terus dilakukan pembinaan terhadap kadernya agar para kadernya memiliki kualitas. Kualitas kader itu dapat ditingkatkan dengan mengikuti training-training formal – LK1, LK2, SC, LK3 –dan informal – diluar dari training formal – dari HMI serta beraktifitas di HMI dan di akademis. Untuk meningkatkan kualitas dirinya, maka seorang kader harus memiliki semangat yang kontinu untuk terus berproses, mengikui training-training formal dan informal yang dilakukan oleh HMI dan akademis, hal itu dikarenakan sistem perkadern di HMI yang sudah baik, namun para kadernya yang tidak mau menyelesaikan trainingnya di HMI.

*KETUA UMUM HMI KOMS FP USU PERIODE 2015-2016

Rabu, 04 Mei 2016

MAPERCA HMI KOMISARIAT FAKULTAS PERTANIAN USU 2015-2016

Selamat bergabung bersama kami para anggota muda yang nantinya akan menjadi anggota biasa :) di HMI KOMS FP USU  


"majulah tabah hmi-wati"


 

Kamis, 14 April 2016

MAPERCA HMI KOMS FP USU 2016


Untuk menjadikan diri menjadi seorang pemimpin tidak bisa hanya dilakukan pada bangku kuliah saja. Ilmu yang diperoleh di kampus hanya sebesar 40% selebihnya mahasiswa harus mencari sendiri ilmu yang lainnya.
Kemampuan berkomunikasi dan memimpin tidak didapatkan di bangku kuliah. tapi kemampuan itu diperoleh dengan cara ikut aktif dalam organisasi

HmI (Himpunan mahasiswa Islam) adalah organisasi ekstra kampus yang lahir pada 5 februari 1947 bertepatan pada tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H yang di prakarsai oleh seorang mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam) di Yogyakarta  yang berasal dari Sidempuan yaitu Lafran Pane. Dapat di bayangkan lebih dari 65 tahun berdinamika di Indonesia telah menghasilkan kader-kader handal. Kader-kader handal tersebut dapat seperti itu karena aktif dalam organisasi.

Kami dari HmI Komisariat Fakultas Peranian Universitas Sumatera Utara mengajak kawan-kawan mahasiswa yang belum bergabung dengan HmI untuk bergabung bersama keluarga besar HMI yang ada di daerah mana pun, khususnya untuk mahasiswa yang ada di Cabang Medan kami mengajak kawan-kawan untuk mengikuti MAPERCA (MASA PERKENALAN CALON ANGGOTA) pada tanggal 22-24 April  2016 di BAPEMMAS SETIABUDI.

Tunggu apalagi kawan-kawan.....
Ayo bergabung bersama kami di HmI...
Bahagia HmI
Jayalah Kohati
Yakin Usaha Sampai

Sabtu, 09 April 2016

Perempuan Dalam Bingkai Islam

PEREMPUAN DALAM BINGKAI ISLAM
Oleh : Nuraini*
HMI KOMISARIAT FP USU

Secara epistemologi Perempuan berasal dari kata per-empu-an ”ahli/mampu”, jadi perempuan merupakan seorang yang mampu melakukan sesuatu. Wanita berasal dari bahasa Jawa ”wani ditata” yang artinya ”orang yang bisa diatur”. Selain itu, dalam bahasa sanskerta kata wanita berasal dari kata ”wan” dan ”ita” yang berarti ”yang dinafsui”.
Dalam Islam sendiri pembicaraan tentang perempuan merupakan hal yang cukup banyak menyita perhatian, terutama dalam perkembangan akhir-akhir ini. Sebelum berbicara terlalu jauh tentang perempuan ada baiknya kita mengetahui dahulu sejarah perempuan sebelum datangnya Islam, dan pandangan-pandangan dari kaum-kaum lain.
            Dalam memandang posisi kaum perempuan dalam masa pra Islam, perempuan dipandang sebagai makhluk yang tidak berharga, dianggap hanya subordinatif, keberadaannya sering menimbulkan masalah, tidak memiliki independensi diri, hak-haknya boleh ditindasdan dirampas, tubuhnya dapat diperjualbelikan atau di wariskan, dan diletakkan dalam posisi marginal.
            Dalam peradaban Yunani, perempuan tidak lebih sekedar alat pemuas naluri seks pria. Kebebasan diberikan kepada perempuan untuk kemudian menikmatinya secara bebas pula. Lain lagi halnya pada peradaban Romawi, perempuan dibawah kekuasaan dan wewenang ayahnya, ketika mereka menikah kekuasaan dan wewenang itu jatuh pada suaminya, ketika suaminya meninggal harus mengikuti anak laki-lakinya. Jika tidak memiliki anak laki-laki, maka perempuan harus mengikuti pamannnya, jika tidak ada pamannya maka perempuan akan diserahkan kepada pemerintah. Ini menunjukkan bahwa perempuan dipandang sangat lemah (dha’if) dan di lemahkan (mustadh’afin).
            Pada peradaban Hindu dan China kondisi dan nasib perempuan tidak kalah buruk dan tragis. Hak hidup seorang perempuan yang bersuami berakhir dengan meninggalnya sang suami. Sang istri harus siap dibakar hidup-hidup pada saat suaminya di bakar atau di kremasi. Sementara, perempuan dalam pandangan Yahudi merupakan sumber laknat Tuhan karena ia telah menjerumuskan Adam kepada rayuan iblis yang menyebabkan keduanya terusir dari dalam surga. Laknat itu berupa perempuan mengalami menstruasi dan merasakan kesakitan ketika sedang melahirkan. Dalam peradaban Kristen pun tidak jauh berbeda dengan kisah-kisah sebelumnya (Yahudi), perempuan merupakan sosok manusia yang bertabiat buruk dan menyebabkan fitnah.
            Islam memberikan penghormatan yang begitu agug dan mulia kepada perempuan. Islam sangat memuliakan dan menempatkan perempuan pada posisi utama. Dalam pendidikan pun, perempuan (ibu) merupakan “madrasah” awal bagi anak-anaknya. Pendidikan jiwa, mental, dan karakter terbentuk mula-mula dalam lingkungan rumah tangga. Jiwa pengasih, lembut, penyabar, dan penyayang, terbentuk mula-mula dari lingkungan rumah. Mental baja dan pantang menyerah diperoleh seorang anak dari didikan ibunya. Jiwa pemaaf dan lapang dada dibentuk dalam lingkungan rumah tangga. Begitu juga sebaliknya. Seperti kita alami sehari-hari, pada urusan internal rumah tangga seorang ibu lebih berperan dan dominan daripada seorang ayah. Perempuan adalah tiang utama kebaikan dan masa depan generasi dan kehidupan manusia.
Berbicara tentang penciptaan perempuan maka tidak lepas dari penciptaan/kejadian manusia secara umum. Dalam QS. al-Nisa (4):1 disebutkan bahwa manusia telah diciptakan dalam diri yang satu dan diciptakan darinya isterinya (pasangannya). Nabi Adam a.s, yang dikenal dengan Hawa diciptakan dari Adam sendiri. Pandangan ini kemudian melahirkan persepsi negatif terhadap perempuan dengan mengatakan bahwa perempuan adalah bagian dari laki-laki. Alasan mereka ialah adanya beberapa hadis Nabi yang mengisyaratkan bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari salah satu tulang rusuk Adam. Hadits tersebut adalah yang berikut:
“Hadits dari Abi Hurairah r.a. berkata: Rasulullah bersabda; sesungguhnya perempuan seperti tulang rusuk, jika kalian mencoba meluruskan ia akan patah. Tetapi jika kalian membiarkannya maka kalian menikmatinya dengan tetap dalam keadaan bengkok”
Pemahaman bahwa tulang rusuk sebagai asal-usul perempuan ditanggapi oleh beberapa penafsiran seperti Rasyid Ridha yang tidak mendukung penafsiran bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam. Menurutnya, kata min nafsin wahidah (bukan berarti dari diri yang satu ( diri Adam) tapi yang dimaksud adalah dari jenis yang satu (yang sama).
sebenarnya konsep penciptaan perempuan dari tulang rusuk Adam bukanlah bersumber dari Al-Qur’an, menurut penelitian, hadis diatas mendapat pengaruh dari tradisi agama sebelumya, Yahudi dan Kristen yang memiliki konsep bias gender.
Dalam Kitab kejadian 2:18-24, terdapat cerita bahwa Tuhan telah menciptakan Adam, tetapi karena Adam kesepian, Tuhan mencoba mencarikan teman. Tuhan membuat Adam tertidur dan kemudian Tuhan mengeluarkan tulang rusuk Adam untuk dijadiakn Eve (Hawa). Ketika Adam melihat Eve (Hawa), dia merasa senang dan mengklaim bahwa Eve berasal dari tulang dan dagungnya sendiri. Jadi, sebenarnya perempuan dan laki-laki diciptakan dari jenis yang sama. Meskipun secara biologis perempuan tidak dapat disamakan dengan laki-laki. Tetapi dalam hak dan kewajibannya tidak ada perbedaan pada keduanya, yang membedakan hanyalah ketaqwaan dan keimanannya dihadapan ALLAH SWT.
Sejak islam datang tidak ada lagi ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan. Islam tidak pernah membedakan antara laki-laki dan perempuan, maka dalam islam tidak terdapat gender. Gender yang merupakan konstruksi sosial yang selama ini di ikuti oleh kaum-kaum feminis islam adalah bersumber dari barat. Jika kita memahami perempuan dari sudut pandang islam, maka kita tidak perlu lagi mengikut paham-paham feminisme lagi. Adanya gender yang diciptakan oleh kaum feminisme itu alasannya sudah jelas bahwa hanya islam saja yang tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan.

Islam tidak melarang perempuan untuk menjadi seorang pemimpin. Namun, ketika dalam rumah tangga yang menjadi seorang pemimpin tetaplah seorang suami. Bagaimana pun hebatnya seorang istri di luar sana, bagaimana pun suksesnya karir seorang istri di luar sana, saat kembali ke rumah, ia tetaplah seorang istri yang harus taat kepada suaminya. Ia tetaplah seorang ibu yang harus mengajarkan hal yang baik kepada anak-anaknya, seperti yang telah disebutkan diatas bahwasanya perempuan adalah madrasah utama seorang anak, yang merupakan penerus bangsa ini. Maka tidak salah lah syair yang mengatakan bahwasanya perempuan adalah tiang negara, jika perempuannya berakhlak buruk maka buruklah suatu negara, namun jika akhlak perempuannya baik maka baiklah suatu negara. Dan hal ini tidak bertentangan dalam ajaran islam.

*kabid UPP periode 2015-2016